Minggu, 06 Juni 2021

MATERI TES CPNS "STRATEGI MENGHADAPI PAHAM RADIKALISME TERORISME – ISIS"

 


 

Oleh :

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

 

 

 

Dari Radikalisme ke Terorisme

Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.1

Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah),

3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).


Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme.

1 A.M. Hendroprioyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam (Jakarta: Buku Kompas, 2009), hlm. 13.


Lalu apa itu terorisme? Banyak ragam pengertian dalam mendefinisikan terorisme. Dari beragam definisi baik oleh para pakar dan ilmuwan maupun yang dijadikan dasar oleh suatu negara, setidaknya memuat tiga hal: pertama, metode, yakni menggunakan kekerasan; kedua, target, yakni korban warga sipil secara acak, dan ketiga tujuan, yakni untuk menebar rasa takut dan untuk kepentingan perubahan sosial politik.2 Karena itulah, definisi yang dijadikan dasar oleh negara Indonesia dalam melihat terorisme pun tidak dilepaskan dari tiga komponen tersebut

Dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-oyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.3

 

Sejarah Penanggulangan Terorisme

Aksi terorisme sebernanya bukanlah hal baru. Sejak awal kemerdekaan hingga reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif dan gerakan yang berbeda-beda serta dengan strategi penanggulangan yang berbeda-beda pula. Di masa Orde Lama kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan pendekatan keamanan melalui operasi militer dengan basis UU Subversif. Hampir sama dengan Orde Lama, penanggulangan terorisme pada masa Orde Baru juga mendasarkan pada UU Subversif dengan penekanan lebih pada operasi intelijen. Pada era reformasi, demokratisasi, kebebasan dan perspektif HAM di berbagai sektor telah turut mempengaruhi kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek penegakan hukum misalnya lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali.

Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam melakukan terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.

Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Dipimpin oleh seorang kepala, BNPT

 

 

2 Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism, London : Sage Publication, 2003. Hlm. Xxiii.

3 Lihat UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme


mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, bidang penindakan dan pembinaan kemampuan dan bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hard power) tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).

Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai- nilai non-kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan.

Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang deradikalisasi ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.

 

ISIS: Gerakan Baru, Jaringan Lama

Setelah al-Qaeda, ISIS merupakan salah satu kelompok terorisme yang telah mengejutkan dunia dengan aksi-aksi brutal dan mampu menjaring pengaruh besar dari beberapa negara. Apa itu ISIS? ISIS pada awalnya merupakan kekuatan milisi nasional yang tidak puas dengan pemerintahan pasca Saddam Hussien yang dikuasai kelompok Syiah. Zarqawi adalah pendiri awal gerakan ini yang jauh sebelumnya telah berbaiat dengan Osama dan menyatakan diri berafiliasi dengan al-Qaeda atau AQI (Al-Qaeda of Iraq) sebelum akhirnya berubah menjadi Islamic State of Iraq ketika dipimpin Abu Bakar al-Baghdady. Gerakan ini hanya beroperasi di Irak, namun ketika muncul konflik oposisi di Suriah, gerakan ini memanfaatkan kekisruhan dgn memperlebar kawasan menjadi ISIS/ISIL. Dengan penaklukan Mosul yang sempat menggemparkan dunia, Juni 2014 mereka mendeklarasikan IS (Islamic State).

Pada perkembangannya ISIS telah memberikan pengaruh ke tokoh-tokoh radikal di Asia Tengah seperti Kyrgistan, Tajikistan dan Turkmenistan. Beberapa tokoh Taliban di Pakistan juga sudah bergabung dengan IS. Terakhir kelompok teroris Boko Haram juga telah menyatakan diri berbaiat pada ISIS. Tidak hanya di Timur Tengah ISIS juga telah merambah anak-anak muda Eropa dan Amerika


melalui penyebaran media Ash Shabaab. Di Indonesia Pengaruh IS ke Indonesia melalui tokoh dan kelompok radikal teroris lama. Pada Oktober 2014 sejak 2011 diperkirakan 15,000 orang dari belahan dunia telah bergabung ke ISIS.

Secara ideologis ISIS memiliki kesamaan keyakinan dengan al-Qaeda yang menganut paham takfiry dan perjuangan menegakkan khalifah Islam dengan kekerasan. Namun, perbedaannya dengan al-Qaeda mereka menempatkan Barat dan sekutu sebagai musuh, ISIS menempatkan kalangan/kelompok yang menghalangi perjuangannya baik Barat, Syiah, bahkan Sunni sebagai musuh. Al- Qaeda melalui Osama tidak pernah menjadi kepala negara atau diangkat menjadi kepala negara, ABB melalui ISIS telah mendeklarasikan negara dan mengangkat dirinya sebagai khalifah. ISIS saat ini telah menjadi magnet baru bagi pejuang- pejuang asing (foreign terrorist fighter) yang mereka klaim mujahidun li nashrti al- islam wa al-muslimin karena sudah memiliki wilayah resmi layaknya negara sendiri ( di Irak : Falluja, Kirkuk, Ramadi hingga Mosul, di Suriah: A’zaz, hingga wilayah Bukmal).

Di Indonesia, penyebaran ISIS cukup massif karena beberapa tokoh radikal yang berpengaruh telah menyatakan diri bergabung ke gerakan ini seperti ABB, Oman Abdurrahman dan Santoso. Di samping itu beberapa kelompok radikal lama juga banyak mendeklarasikan diri mendukung gerakan ISIS seperti Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharut Tauhid, Jama’ah Islamiyah, Forum Aktivis Syariat Islam, Awhid wal Jihad, Forum Pendukung Daulah, Asybal Tauhid Indonesia, Mimbar Tauhid wal Jihad, KUIB (Bekasi) dan masih banyak yang lain dalam bentuk nama yang berubah-rubah. Dari gerakan ini banyak ditemukan para pejuang asing yang telah bergabung ke ISIS. Bahkan untuk pejuang dari Indonesia pada Oktober 2014, dibentuk IS Melayu “Katibah Liddaulah” di suriah oleh Bachrumsyah & Abu Jandal yg menampung warga Indonesia dan Malaysia yang diperkirakan jumlah 100 orang.

Selain menggunakan penyebaran langsung, ISIS di merupakan gerakan yang sangat pandai memanfaatkan media internet sebagai media propaganda. ISIS merupakan salah satu gerakan teroris yang mampu memanfaatkan media sosial sebagai media propaganda sekaligus rekuritmen keanggotaan. Untuk konteks di Indonesia hingga Maret 2015 kicauan tentang ISIS dari Indonesia berkontribusi 20% dari total tweet dunia (112.075 /dunia 21.722 /Indonesia). Video pertama muncul pada 31 Juli di Youtube mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS. Propaganda dilanjutkan dengan video lain yang berisi ancama ISIS terhadap TNI Jend Muldoko, Kapolri, Baser dan seluruh bangsa Indonesai, akan membantai orang


orang yang tidak sepaham dengan mereka dan masih ada contoh-contoh lain pola propaganda ISIS di Indonesia.

 

Kerentanan dan Penangkalan Pemuda terhadap Radikal Terorisme

Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan melancarkan agenda kekerasannya.

Sangat memperihatinkan ketika melihat berbagai fakta yang mempertontonkan kedekatan pemuda dengan budaya kekerasan. Kehadiran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan generasi muda dengan berbagai provokasi, propaganda dan ajakan kekerasan yang menggiurkan. Sejak kemunculannya menghentakkan situasi keamanan bangsa ini, ISIS setidaknya telah mampu menggetarkan gairah anak muda untuk ikut terlibat dalam gerakan politik kekerasan di Suriah. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah meninggal di Irak saat bergabung dengan ISIS. Wildan merupakan santri di Pondok Al Islam di Tenggulun, Lamongan, yang dikelola oleh keluarga Amrozi terpidana bom Bali 2002. Dalam usianya yang masih belia pemuda asal Lamongan ini memilih mengkahiri hidupnya di tanah penuh konflik. Tidak hanya dari kalangan laki-laki, Asyahnaz Yasmin (25 tahun), termasuk satu dari 16 warga negara Indonesia yang ditangkap pemerintah Turki. Gadis asal Bandung ini setelah dipulangkan ke Indonesia, ia ditolak keluarganya dan bupati setempat. Kemensos RI pun menampungnya kembali di rumah perlindungan dan trauma centre. Dan tentu saja masih banyak cerita lainnya.

Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan kalangan generasi muda dari keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh kelompok radika baik secara langsung maupun melalui media online yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Karena itulah, upaya membentengi generasi muda


dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan menjadi tugas bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama Pendidikan, melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda. Kedua, Keluarga, melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas: melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.

Selain peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat, generasi muda juga dituntut mempunyai imuntas dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal terorisme. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan generasi muda, dalam rangka menangkal pengaruh paham dan ajaran radikal yakni

1) tanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI, 2) perkaya wawasan keagamaan yang moderat, terbuka dan toleran, 3) bentengi keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun dunia maya, 4) membangun jejaring dengan komunitas damai baik offline maupun online untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan 5) bergabunglah di damai.id sebagai media komunitas dalam rangka membanjiri dunia maya dengan pesan-pesan perdamaian dan cinta NKRI.

 

Penutup

Terorisme merupakan tindakan kejahatan yang mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Keterlibatan komunitas masyarakat terutama lingkungan lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat serta generasi muda itu sendiri dalam mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan sejahtera.

 

“Bersama Cegah Terorisme”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar