Senin, 07 Juni 2021

BAHAN BACAAN MATERI TES CPNS WAWASAN KEBANGSAAN


 

Pengertian, Ciri, Penyebab dan Pencegahan Radikalisme

 


 

 

Pengertian Radikalisme


Oleh Muchlisin Riadi


 

Radikalisme adalah suatu pandangan, paham dan gerakan yang menolak secara menyeluruh terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik yang ada dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui jalan kekerasan.

 

Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin, yaitu radix yang artinya akar, sumber atau asal mula. Istilah radikal memiliki arti ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Sedangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal (Widiana, 2012).

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007), radikalisme adalah (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.

 

Radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.

Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara penekanan dan ketegangan yang pada akhirnya mengakibatkan                    kekerasan.

 

Berikut    definisi    dan    pengertian    radikalisme    dari    beberapa    sumber    buku:


·          Menurut Kartodirdjo (1985), radikalisme adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.

·          Menurut Rubaidi (2007), radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.

·          Menurut Hasani dan Naipospos (2010), radikalisme adalah pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya.

·          Menurut Partanto dan Al Barry (1994), radikalisme adalah paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.

 

Ciri-ciri Radikalisme

Menurut Masduqi (2012), seseorang atau kelompok yang terpapar paham radikalisme ditandai dengan ciri-ciri                                            sebagai                                  berikut:

 

 

1.    Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan mereka adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya manusia biasa. Oleh sebab itu, jika ada kelompok yang merasa benar sendiri maka secara langsung mereka telah bertindak congkak merebut otoritas Allah.

2.    Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan) dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan- persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer.

3.    Berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah mereka justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan  dan keberatan.


4.    Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah. Ciri- ciri dakwah seperti ini sangat bertolak belakang dengan kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi.

5.    Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya. Berburuk sangka adalah bentuk sikap merendahkan orang lain. Kelompok radikal sering tampak merasa suci dan menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.

6.    Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Kelompok ini mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi, mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.

 

 

Sedangkan menurut Rubaidi (2007), ciri-ciri gerakan radikalisme dalam agama ditandai dengan                                                hal-hal                                  sebagai                                  berikut:

 

 

1.              Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan.

2.              Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al- Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.

3.              Karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid'ah.

4.              Menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan hadits.


5.              Gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.

 

Faktor Penyebab Radikalisme

Menurut Azyumardi (2012), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab atau sumber masalah                  tumbuhnya    paham    radikalisme    pada    seseorang     adalah     sebagai     berikut:

 

 

1.    Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Al-Quran. Pemahaman seperti itu hampir tidak umumnya moderat, dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat.

2.    Bacaan yang salah terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu.

3.    Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat, sehingga sekarang sudah waktunya bertaubat melalui pemimpin dan kelompok mereka.

4.    Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama dalam masa reformasi.

5.    Melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan informasi tentang jihad.

 

 

Selain itu, menurut Hikam (2016), terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi masuknya                               paham              radikalisme              di              Indonesia,              yaitu:

 

 

A.   Faktor Geografi

 

Letak geografi Republik Indonesia berada di posisi silang antara dua benua merupakan wilayah yang sangat strategis secara geostrategic tetapi sekaligus

,rentang terhadap ancaman terorisme internasional. Dengan kondisi wilayah yang terbuka dan merupakan negara kepulauan, perlindungan keamanan yang konprenshif sangat diperlukan.


B.   Faktor Demografi

 

Penduduk Indonesia adalah mayoritas beragama Islam dan mengikuti berbagai aliran pemikiran (schools of thought) serta memiliki budaya yang majemuk. Oleh karena itu hal ini berpotensi untuk dieksploitasi dan dimanipulasi oleh kelompok radikal.

C.     Faktor Sumber Kekayaan Alam

Sumber daya kekayaan Indonesia yang melimpah, tapi belum dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat juga berpotensi dipergunakan oleh kelompok radikal untuk mengkampanyekan ideologi. Hal ini dilakukan mereka melalui isu-isu sensitif seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi dan ketidakmerataan kesejahteraan antar penduduk dan wilayah.

 

 

D.   Faktor Ideologi

Kondisi politik pasca reformasi yang masih belum reformasi dan seimbang telah memberikan peluang bagi proses pergeseran dan bahkan degradasi pemahaman ideologi. Munculnya berbagai ideologi alternatif dalam wacana kiprah politik nasional serta ketidaksiapan pemerintah menjadi salah satu penyebab masuknya pemahaman radikal. Belum lagi, pemerintah yang belum mampu menggalakkan kembali sosialisasi nilai-nilai dasar dan ideologi nasional Pancasila dalam masyarakat, ditambah lagi karut marut dalam bidang politik adalah                beberapa                faktor                penyebab                utamanya.

 

 

E.    Faktor Politik

Problem dalam kehidupan politik yang masih mengganjal adalah belum terwujudnya check and balances sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi, terutama dalam rangka sistem pemerintahan Presidensil. Hal ini berakibat serius bagi pemerintah yang selalu mendapat intervensi partai politik di Parlemen sehingga upaya pemulihan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terganggu. Ketidakseimbangan antara harapan rakyat pemilih dengan kinerja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menciptakan  ketidakpercayaan publik yang tinggi. Hal ini membuka peluang bagi upaya Destabilisasi politik melalui berbagai cara dan saluran termasuk media massa


dan                 kelompok                 penekan                 (Preasure                 Grups).

 

 

F.    Faktor Ekonomi

Kemiskinan, pengangguran kesenjangan antara kaya-miskin dan kesenjangan antara kota dan desa, serta antar daerah. Pengaruh ekonomi global yang belum kunjung pulih dan stabil, bagaimanapun juga, membuat ekonomi Indonesia yang tergantung dengan fluktuasi ekonomi pasar global masih belum bisa berkompetisi dengan pesaing-pesaingnya baik di tingkat regional maupun internasional.

 

 

G.   Faktor Sosial Budaya

 

Bangsa Indonesia yang majemuk kemudian kehilangan jangkar jati dirinya sehingga mudah terbawa oleh pengaruh budaya cosmopolitan dan pop (popular culture) yang ditawarkan oleh media (TV, Radio, Jejaring Sosial dan sebagainya). Kondisi anomie dan alienasi budaya dengan mudah menjangkit kawula muda Indonesia sehingga mereka sangat rentang terhadap pengaruh negatif seperti hedonism dan kekerasan.

 

H.   Faktor Pertahanan dan Keamanan

 

Kelompok teroris di Indonesia masih terus melakukan kegiatan propaganda ideologi dan tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat pada aksi di beberapa daerah di Indonesia. Ketidaksiapan aparat keamanan dalam berkoordinasi dengan para penegak hukum masih cukup mengkhawatirkan dalam hal penanggulangan terorisme di waktu-waktu yang akan datang.

 

 

Pencegahan Radikalisme

Program yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi paham radikalisme dilakukan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi. Deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris.


 

Deradikalisasi mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat keyakinan, penanganan hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya mengubah yang radikal menjadi tidak radikal. Oleh karena itu deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisasinya, hingga meninggalkan aksi kekerasan.

 

Deradikalisasi dilakukan melalui proses meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara menanggapi root cause (akar-akar penyebab) yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini.

 

Menurut Azyumardi (2012), deredikalisasi dilakukan dengan enam pendekatan, yaitu rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan keagamaan moderat, dan kewirausahaan. Adapun penjelasan pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

 

 

1.    Rehabilitasi. Program rehabilitasi dilakukan dengan dua cara, yaitu; 1) pembinaan kemandirian untuk melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan keterampilan dan keahlian, serta 2) pembinaan kepribadian untuk melakukan pendekatan dengan berdialog kepada para napi teroris agar mindset mereka bisa diluruskan serta memiliki pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan mereka. Proses rehabilitasi dilakukan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti polisi, lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokersa, ormas, dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga Pemasyarakatan.

2.    Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, redukasi dilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri bukanlah jihad melainkan identik dengan aksi terorisme.


3.    Resosialisasi adalah program yang dilakukan dengan cara membimbing mantan narapidana dan narapidana teroris dalam bersosialisasi, berbaur dan menyatu dengan masyarakat. Deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian kegiatan seperti publik lecture, workshop, dan lainnya. Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis dan memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.

4.    Pembinaan wawasan kebangsaan adalah memoderasi paham kekerasan dengan memberikan pemahaman nasionalisme kenegaraan, dan kebangsaan Indonesia.

5.    Pembinaan keagamaan adalah rangkaian kegiatan bimbingan keagamaan kepada mereka agar memiliki pemahaman keagamaan yang inklusif, damai, dan toleran. Pembinaan keagamaan mengacu pada moderasi ideologi, yaitu dengan melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran.

6.    Pendekatan kewirausahaan dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat mandiri dan tidak mengembangkan paham kekerasan. Kewirausahaan memiliki peran yang besar dalam pelaksanaan deradikalisasi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting untuk menjadikan masyarakat lebih kreatif dan mandiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber        :        https://www.kajianpustaka.com/2019/12/pengertian-ciri-penyebab-dan- pencegahan-radikalisme.html

 

.

Minggu, 06 Juni 2021

MATERI TES CPNS "STRATEGI MENGHADAPI PAHAM RADIKALISME TERORISME – ISIS"

 


 

Oleh :

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

 

 

 

Dari Radikalisme ke Terorisme

Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.1

Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah),

3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).


Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme.

1 A.M. Hendroprioyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam (Jakarta: Buku Kompas, 2009), hlm. 13.


Lalu apa itu terorisme? Banyak ragam pengertian dalam mendefinisikan terorisme. Dari beragam definisi baik oleh para pakar dan ilmuwan maupun yang dijadikan dasar oleh suatu negara, setidaknya memuat tiga hal: pertama, metode, yakni menggunakan kekerasan; kedua, target, yakni korban warga sipil secara acak, dan ketiga tujuan, yakni untuk menebar rasa takut dan untuk kepentingan perubahan sosial politik.2 Karena itulah, definisi yang dijadikan dasar oleh negara Indonesia dalam melihat terorisme pun tidak dilepaskan dari tiga komponen tersebut

Dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-oyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.3

 

Sejarah Penanggulangan Terorisme

Aksi terorisme sebernanya bukanlah hal baru. Sejak awal kemerdekaan hingga reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif dan gerakan yang berbeda-beda serta dengan strategi penanggulangan yang berbeda-beda pula. Di masa Orde Lama kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan pendekatan keamanan melalui operasi militer dengan basis UU Subversif. Hampir sama dengan Orde Lama, penanggulangan terorisme pada masa Orde Baru juga mendasarkan pada UU Subversif dengan penekanan lebih pada operasi intelijen. Pada era reformasi, demokratisasi, kebebasan dan perspektif HAM di berbagai sektor telah turut mempengaruhi kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek penegakan hukum misalnya lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali.

Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam melakukan terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.

Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Dipimpin oleh seorang kepala, BNPT

 

 

2 Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism, London : Sage Publication, 2003. Hlm. Xxiii.

3 Lihat UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme


mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, bidang penindakan dan pembinaan kemampuan dan bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hard power) tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).

Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai- nilai non-kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan.

Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang deradikalisasi ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.

 

ISIS: Gerakan Baru, Jaringan Lama

Setelah al-Qaeda, ISIS merupakan salah satu kelompok terorisme yang telah mengejutkan dunia dengan aksi-aksi brutal dan mampu menjaring pengaruh besar dari beberapa negara. Apa itu ISIS? ISIS pada awalnya merupakan kekuatan milisi nasional yang tidak puas dengan pemerintahan pasca Saddam Hussien yang dikuasai kelompok Syiah. Zarqawi adalah pendiri awal gerakan ini yang jauh sebelumnya telah berbaiat dengan Osama dan menyatakan diri berafiliasi dengan al-Qaeda atau AQI (Al-Qaeda of Iraq) sebelum akhirnya berubah menjadi Islamic State of Iraq ketika dipimpin Abu Bakar al-Baghdady. Gerakan ini hanya beroperasi di Irak, namun ketika muncul konflik oposisi di Suriah, gerakan ini memanfaatkan kekisruhan dgn memperlebar kawasan menjadi ISIS/ISIL. Dengan penaklukan Mosul yang sempat menggemparkan dunia, Juni 2014 mereka mendeklarasikan IS (Islamic State).

Pada perkembangannya ISIS telah memberikan pengaruh ke tokoh-tokoh radikal di Asia Tengah seperti Kyrgistan, Tajikistan dan Turkmenistan. Beberapa tokoh Taliban di Pakistan juga sudah bergabung dengan IS. Terakhir kelompok teroris Boko Haram juga telah menyatakan diri berbaiat pada ISIS. Tidak hanya di Timur Tengah ISIS juga telah merambah anak-anak muda Eropa dan Amerika


melalui penyebaran media Ash Shabaab. Di Indonesia Pengaruh IS ke Indonesia melalui tokoh dan kelompok radikal teroris lama. Pada Oktober 2014 sejak 2011 diperkirakan 15,000 orang dari belahan dunia telah bergabung ke ISIS.

Secara ideologis ISIS memiliki kesamaan keyakinan dengan al-Qaeda yang menganut paham takfiry dan perjuangan menegakkan khalifah Islam dengan kekerasan. Namun, perbedaannya dengan al-Qaeda mereka menempatkan Barat dan sekutu sebagai musuh, ISIS menempatkan kalangan/kelompok yang menghalangi perjuangannya baik Barat, Syiah, bahkan Sunni sebagai musuh. Al- Qaeda melalui Osama tidak pernah menjadi kepala negara atau diangkat menjadi kepala negara, ABB melalui ISIS telah mendeklarasikan negara dan mengangkat dirinya sebagai khalifah. ISIS saat ini telah menjadi magnet baru bagi pejuang- pejuang asing (foreign terrorist fighter) yang mereka klaim mujahidun li nashrti al- islam wa al-muslimin karena sudah memiliki wilayah resmi layaknya negara sendiri ( di Irak : Falluja, Kirkuk, Ramadi hingga Mosul, di Suriah: A’zaz, hingga wilayah Bukmal).

Di Indonesia, penyebaran ISIS cukup massif karena beberapa tokoh radikal yang berpengaruh telah menyatakan diri bergabung ke gerakan ini seperti ABB, Oman Abdurrahman dan Santoso. Di samping itu beberapa kelompok radikal lama juga banyak mendeklarasikan diri mendukung gerakan ISIS seperti Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharut Tauhid, Jama’ah Islamiyah, Forum Aktivis Syariat Islam, Awhid wal Jihad, Forum Pendukung Daulah, Asybal Tauhid Indonesia, Mimbar Tauhid wal Jihad, KUIB (Bekasi) dan masih banyak yang lain dalam bentuk nama yang berubah-rubah. Dari gerakan ini banyak ditemukan para pejuang asing yang telah bergabung ke ISIS. Bahkan untuk pejuang dari Indonesia pada Oktober 2014, dibentuk IS Melayu “Katibah Liddaulah” di suriah oleh Bachrumsyah & Abu Jandal yg menampung warga Indonesia dan Malaysia yang diperkirakan jumlah 100 orang.

Selain menggunakan penyebaran langsung, ISIS di merupakan gerakan yang sangat pandai memanfaatkan media internet sebagai media propaganda. ISIS merupakan salah satu gerakan teroris yang mampu memanfaatkan media sosial sebagai media propaganda sekaligus rekuritmen keanggotaan. Untuk konteks di Indonesia hingga Maret 2015 kicauan tentang ISIS dari Indonesia berkontribusi 20% dari total tweet dunia (112.075 /dunia 21.722 /Indonesia). Video pertama muncul pada 31 Juli di Youtube mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS. Propaganda dilanjutkan dengan video lain yang berisi ancama ISIS terhadap TNI Jend Muldoko, Kapolri, Baser dan seluruh bangsa Indonesai, akan membantai orang


orang yang tidak sepaham dengan mereka dan masih ada contoh-contoh lain pola propaganda ISIS di Indonesia.

 

Kerentanan dan Penangkalan Pemuda terhadap Radikal Terorisme

Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan melancarkan agenda kekerasannya.

Sangat memperihatinkan ketika melihat berbagai fakta yang mempertontonkan kedekatan pemuda dengan budaya kekerasan. Kehadiran Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan generasi muda dengan berbagai provokasi, propaganda dan ajakan kekerasan yang menggiurkan. Sejak kemunculannya menghentakkan situasi keamanan bangsa ini, ISIS setidaknya telah mampu menggetarkan gairah anak muda untuk ikut terlibat dalam gerakan politik kekerasan di Suriah. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah meninggal di Irak saat bergabung dengan ISIS. Wildan merupakan santri di Pondok Al Islam di Tenggulun, Lamongan, yang dikelola oleh keluarga Amrozi terpidana bom Bali 2002. Dalam usianya yang masih belia pemuda asal Lamongan ini memilih mengkahiri hidupnya di tanah penuh konflik. Tidak hanya dari kalangan laki-laki, Asyahnaz Yasmin (25 tahun), termasuk satu dari 16 warga negara Indonesia yang ditangkap pemerintah Turki. Gadis asal Bandung ini setelah dipulangkan ke Indonesia, ia ditolak keluarganya dan bupati setempat. Kemensos RI pun menampungnya kembali di rumah perlindungan dan trauma centre. Dan tentu saja masih banyak cerita lainnya.

Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan kalangan generasi muda dari keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh kelompok radika baik secara langsung maupun melalui media online yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Karena itulah, upaya membentengi generasi muda


dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan menjadi tugas bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama Pendidikan, melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda. Kedua, Keluarga, melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas: melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.

Selain peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat, generasi muda juga dituntut mempunyai imuntas dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal terorisme. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan generasi muda, dalam rangka menangkal pengaruh paham dan ajaran radikal yakni

1) tanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI, 2) perkaya wawasan keagamaan yang moderat, terbuka dan toleran, 3) bentengi keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun dunia maya, 4) membangun jejaring dengan komunitas damai baik offline maupun online untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan 5) bergabunglah di damai.id sebagai media komunitas dalam rangka membanjiri dunia maya dengan pesan-pesan perdamaian dan cinta NKRI.

 

Penutup

Terorisme merupakan tindakan kejahatan yang mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Keterlibatan komunitas masyarakat terutama lingkungan lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat serta generasi muda itu sendiri dalam mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan sejahtera.

 

“Bersama Cegah Terorisme”

Sabtu, 05 Juni 2021

MATERI TES CPNS RADIKALISME


 

A.  Pengertian Radikalisme Secara Umum

 

Sebenarnya, apa arti radikalisme? Menurut para ahli, Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ ekstrim.

 

Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku.

 

Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan Agama tertentu, pada dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran Agama.

 

 

B.  Sejarah Radikalisme

 

Pada dasarnya radikalisme sudah ada sejak jaman dahulu karena sudah ada di dalam diri manusia. Namun, istilah “Radikal” dikenal pertamakali setelah Charles James Fox memaparkan tentang paham tersebut pada tahun 1797.

 

Saat itu, Charles James Fox menyerukan “Reformasi Radikal” dalam sistem pemerintahan di Britania Raya (Inggris). Reformasi tersebut dipakai untuk menjelaskan pergerakan yang mendukung revolusi parlemen di negara tersebut. Pada akhirnya ideologi radikalisme tersebut mulai berkembang dan kemudian berbaur dengan ideologi liberalisme.

 

Seperti yang disebutkan pada pengertian radikalisme di atas, radikalisme seringkali dikaitkan dengan agama tertentu, khususnya Islam. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang melakukan


teror terhadap beberapa negara di dunia dengan membawa/ menyebutkan simbol- simbol agama Islam dalam setiap aksi teror mereka.

 

Tindakan ISIS dan dukungan dari sebagian kecil umat Islam terhadap ISIS pada akhirnya membuat sebagian masyarakat dunia menganggap ISIS merupakan gambaran dari ajaran Islam. Namun, tentu saja hal tersebut tidak benar adanya karena sebagian besar umat Islam justru mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh ISIS.

 

 

C.  Ciri-Ciri Radikalisme

 

Radikalisme sangat mudah kita kenali. Hal tersebut karena memang pada umumnya penganut ideologi ini ingin dikenal/ terkenal dan ingin mendapat dukungan lebih banyak orang. Itulah sebabnya radikalisme selalu menggunakan cara-cara yang ekstrim.

 

Berikut ini adalah ciri-ciri radikalisme:

 

·          Radikalisme adalah tanggapan pada kondisi yang sedang terjadi, tanggapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan dengan keras.

·          Melakukan upaya penolakan secara terus-menerus dan menuntut perubahan drastis yang diinginkan terjadi.

·          Orang-orang yang menganut paham radikalisme biasanya memiliki keyakinan yang kuat terhadap program yang ingin mereka jalankan.

·          Penganut radikalisme tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan dalam mewujudkan keinginan mereka.

·          Penganut radikalisme memiliki anggapan bahwa semua pihak yang berbeda pandangan dengannya adalah bersalah.


D.  Faktor Penyebab Radikalisme

 

Mengacu pada pengertian radikalisme di atas, paham ini dapat terjadi karena adanya beberapa faktor penyebab, diantaranya:

1.   Faktor Pemikiran

 

Radikalisme dapat berkembang karena adanya pemikiran bahwa segala sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara yang kaku dan menggunakan kekerasan.

2.   Faktor Ekonomi

 

Masalah ekonomi juga berperan membuat paham radikalisme muncul di berbagai negara. Sudah menjadi kodrat manusia untuk bertahan hidup, dan ketika terdesak karena masalah ekonomi maka manusia dapat melakukan apa saja, termasuk meneror manusia lainnya.

 

3.   Faktor Politik

 

Adanya pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada pihak tertentu, mengakibatkan munculnya kelompok- kelompok masyarakat yang terlihat ingin menegakkan keadilan.

 

Kelompok-kelompok tersebut bisa dari kelompok sosial, agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan keadilan, kelompok-kelompok ini seringkali justru memperparah keadaan.

4.   Faktor Sosial

 

Masih erat hubungannya dengan faktor ekonomi. Sebagian masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya berpikiran sempit sehingga mudah percaya kepada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat membawa perubahan drastis pada hidup mereka.

5.   Faktor Psikologis

 

Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga dapat menjadi faktor penyebab radikalisme. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah percintaan, rasa benci dan dendam, semua ini berpotensi membuat seseorang menjadi radikalis.


 

6.   Faktor Pendidikan

 

Pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab munculnya radikalis di berbagai tempat, khususnya pendidikan agama. Tenaga pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan radikalisme di dalam diri seseorang.

 

 

E.  Kelebihan dan Kekurangan Radikalisme

 

Radikalisme merupakan paham yang salah dan banyak menganggapnya sesat.

Namun, di dalam radikalisme juga terdapat kelebihan.

1.   Kelebihan

 

·          Penganut radikalisme punya tujuan yang jelas dan sangat yakin dengan tujuan tersebut.

·          Penganut radikalisme memiliki kesetiaan dan semangat juang yang sangat besar dalam mewujudkan tujuannya.

2.   Kekurangan

 

·          Penganut radikalisme tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya karena beranggapan bahwa semua yang berseberangan pendapat adalah salah.

·          Umumnya memakai cara kekerasan dan cara negatif lainnya dalam upaya mewujudknya tujuannya.

·          Penganut radikalisme menganggap semua pihak yang berbeda pandangan dengannya adalah musuh yang harus disingkirkan.

·          Penganut radikalisme tidak perduli dengan HAM (Hak Asasi Manusia).


F.   Cara Mengatasi Radikalisme

 

Berikut ini 4 strategi yang harus dilakukan untuk memberantas radikalisme yaitu:

1.   Meningkatkan Pemahaman Keagamaan

Radikalisme disebabkan oleh minimnya pemahaman agama. Belajar agama secara dangkal dapat memicu mereka melakukan kekerasan, bahkan atas nama agama. Tindakan terorisme balakangan ini dilakukan dengan cara bunuh diri, misalnya bom bunuh diri, sebab Islam justru melarang tindakan bunuh diri, sehingga tindakan terorisme dalam bentuk apapun sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Tindakan terorisme mengatasnamakan Islam sering mengaitkan perbuatannya dengan jihad, padahal mereka sebenarnya tidak tahu makna jihad sesungguhnya. Untuk itu kita harus belajar agama pada yang ahlinya yang tahu betul apa arti jihad sesungguhnya.

 

2.   Membentuk Komunitas-Komunitas Damai di Lingkungan Sekitar

Pemuda bisa menjadi pionir dalam pembentukan komunitas cinta damai di lingkungannya. Komunitas-komunitas tersebut lah yang melakukan sosialisasi ke masyarakat maupun ke sekolah-sekolah akan bahaya paham radikalisme. Selain itu komunitas-komunitas ini juga ikut aktif dalam pengawasan sehingga jika dalam lingkungannya terdapat hal-hal yang mencurigakan terkait penyebaran virus radikalisme segera melaporkannya ke pihak yang memiliki wewenang seperti tokoh masyarkat dan tokoh agama.

 

3.   Menyebarkan Virus Damai di Dunia Maya

Hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. Mereka ini menggunakan internet hanya untuk mencari informasi, untuk terhubung dengan teman (lama dan baru) dan untuk hiburan. Hal inilah yang menjadi celah bagi para penyebar paham radikalisme untuk menyebarkan pahamnya di dunia maya. Oleh karena itu, dibutuhkan aksi dari pemuda sebagai pengguna internet terbanyak di Indonesia untuk menangkal informasi-informasi yang menyesatkan dengan mengunggah konten damai di social media seperti tulisan, komik, dan meme. Sehingga konten-konten


damai yang bertebaran di dunia maya dapat mengalahkan konten-konten radikal yang disebarkan oleh kelompok-kelompok radikal.

 

4.   Menjaga Persatuan dan Kesatuan

Generasi Muda adalah generasi penerus Bangsa yang mempunyai kemampuan, kepinteran, Keberanian dan mempunyai tekad yang kuat untuk melindungi Bangsa Indonesia yang mereka cintai. Generasi muda adalah Warga Negara yang menjadi unsur penting dalam suatu Negara. Menunjukkan sikap bela Negara para Generasi Muda saat ini dapat dilakukan dengan menampilkan perilaku-perilaku positif yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa yang bertujuan untuk melawan segala macam paham kebencian dan kekerasan yang ingin merusak keutuhan NKRI.

 

5.   Menghindari dan memberantas Hoax

Membiasakan diri untuk menjaga diri dari berita hoax terutama yang beredar melalui media social. Oleh karena itu agar selalu melakukan konfirmasi kebenaran atas suatu berita, tidak mudah diprovokasi dan tidak membagikan berita yang belum teruji sumber dan kebenarannya.