Pengertian,
Ciri, Penyebab dan Pencegahan Radikalisme
Pengertian Radikalisme
Oleh
Muchlisin Riadi
Radikalisme adalah suatu pandangan, paham dan gerakan yang
menolak secara menyeluruh terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik
yang ada dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui
jalan kekerasan.
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin, yaitu radix
yang artinya akar, sumber atau asal mula. Istilah radikal memiliki arti
ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Sedangkan radikalisme
adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal (Widiana, 2012).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007),
radikalisme adalah (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham
atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara
kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus
Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide
politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna
doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.
Radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam
suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun
agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai
wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara penekanan dan ketegangan yang pada akhirnya
mengakibatkan kekerasan.
Berikut definisi dan
pengertian radikalisme dari
beberapa sumber
buku:
·
Menurut Kartodirdjo (1985),
radikalisme adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial
yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk
menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.
·
Menurut Rubaidi (2007), radikalisme
merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan
sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.
·
Menurut Hasani dan Naipospos
(2010), radikalisme adalah pandangan yang ingin melakukan perubahan yang
mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi
yang dianutnya.
·
Menurut Partanto dan Al Barry
(1994), radikalisme adalah paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan
dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
Ciri-ciri Radikalisme
Menurut Masduqi (2012), seseorang atau kelompok yang terpapar paham
radikalisme ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak
sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan mereka
adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya
manusia biasa. Oleh sebab itu, jika ada kelompok yang merasa benar sendiri maka
secara langsung mereka telah bertindak congkak merebut otoritas Allah.
2. Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan)
dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram.
Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan
persoalan- persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer.
3. Berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah
mereka mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah
mereka justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan dan keberatan.
4. Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam
berdakwah. Ciri- ciri dakwah seperti ini sangat bertolak belakang dengan
kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi.
5. Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar
golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya
dan mengabaikan aspek positifnya. Berburuk sangka adalah bentuk sikap
merendahkan orang lain. Kelompok radikal sering tampak merasa suci dan
menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.
6. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Kelompok ini
mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang
menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi,
mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan
mengkafirkan semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka sebab mereka yakin
bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.
Sedangkan
menurut Rubaidi (2007), ciri-ciri gerakan radikalisme dalam agama ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Menjadikan Islam sebagai ideologi
final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan.
2.
Nilai-nilai Islam yang dianut
mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan
perkembangan sosial dan politik ketika Al- Quran
dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.
3.
Karena perhatian lebih terfokus
pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk
menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati
menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid'ah.
4.
Menolak ideologi Non-Timur Tengah
termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi.
Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan hadits.
5.
Gerakan kelompok ini sering
berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu,
terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.
Faktor Penyebab Radikalisme
Menurut Azyumardi (2012), terdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab atau sumber masalah tumbuhnya paham radikalisme pada seseorang adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat
Al-Quran. Pemahaman seperti itu hampir tidak umumnya moderat, dan karena itu
menjadi arus utama (mainstream) umat.
2.
Bacaan yang salah terhadap sejarah
umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam
pada masa tertentu.
3. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam
masyarakat. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan
memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat, sehingga sekarang sudah
waktunya bertaubat melalui pemimpin dan kelompok mereka.
4. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama dalam
masa reformasi.
5. Melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok radikal
juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan informasi tentang jihad.
Selain itu, menurut Hikam (2016), terdapat beberapa aspek yang
mempengaruhi masuknya paham radikalisme di Indonesia, yaitu:
A. Faktor Geografi
Letak geografi Republik Indonesia berada di posisi silang
antara dua benua merupakan wilayah yang sangat strategis secara geostrategic
tetapi sekaligus
,rentang terhadap ancaman terorisme internasional. Dengan
kondisi wilayah yang terbuka dan merupakan negara kepulauan, perlindungan
keamanan yang konprenshif sangat diperlukan.
B. Faktor Demografi
Penduduk Indonesia adalah mayoritas beragama Islam dan
mengikuti berbagai aliran pemikiran (schools of thought) serta memiliki budaya
yang majemuk. Oleh karena itu hal ini berpotensi untuk dieksploitasi dan
dimanipulasi oleh kelompok radikal.
C.
Faktor Sumber Kekayaan Alam
Sumber daya kekayaan Indonesia yang melimpah, tapi belum
dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat juga berpotensi dipergunakan oleh
kelompok radikal untuk mengkampanyekan ideologi. Hal ini dilakukan mereka
melalui isu-isu sensitif seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi
dan ketidakmerataan kesejahteraan antar penduduk dan wilayah.
D. Faktor Ideologi
Kondisi
politik pasca reformasi yang masih belum reformasi dan seimbang telah
memberikan peluang bagi proses pergeseran dan bahkan degradasi pemahaman
ideologi. Munculnya berbagai ideologi alternatif dalam wacana kiprah politik
nasional serta ketidaksiapan pemerintah menjadi salah satu penyebab masuknya
pemahaman radikal. Belum lagi, pemerintah yang belum mampu menggalakkan kembali
sosialisasi nilai-nilai dasar dan ideologi nasional Pancasila dalam masyarakat,
ditambah lagi karut marut dalam bidang politik adalah beberapa faktor penyebab utamanya.
E. Faktor Politik
Problem dalam kehidupan politik yang masih mengganjal
adalah belum terwujudnya check and balances sebagaimana yang dikehendaki oleh
konstitusi, terutama dalam rangka sistem pemerintahan Presidensil. Hal ini
berakibat serius bagi pemerintah yang selalu mendapat intervensi partai politik
di Parlemen sehingga upaya pemulihan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat terganggu. Ketidakseimbangan antara harapan rakyat pemilih dengan
kinerja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menciptakan ketidakpercayaan publik yang tinggi. Hal ini
membuka peluang bagi upaya Destabilisasi politik melalui
berbagai cara dan saluran termasuk
media massa
dan kelompok penekan (Preasure Grups).
F. Faktor Ekonomi
Kemiskinan, pengangguran kesenjangan antara kaya-miskin dan
kesenjangan antara kota dan desa, serta antar daerah. Pengaruh ekonomi global
yang belum kunjung pulih dan stabil, bagaimanapun juga, membuat ekonomi
Indonesia yang tergantung dengan fluktuasi ekonomi pasar global masih belum
bisa berkompetisi dengan pesaing-pesaingnya baik di tingkat regional maupun
internasional.
G. Faktor Sosial Budaya
Bangsa Indonesia yang majemuk kemudian kehilangan jangkar
jati dirinya sehingga mudah terbawa oleh pengaruh budaya cosmopolitan dan pop
(popular culture) yang ditawarkan oleh media (TV, Radio, Jejaring Sosial dan
sebagainya). Kondisi anomie dan alienasi budaya dengan mudah menjangkit kawula
muda Indonesia sehingga mereka sangat rentang terhadap pengaruh negatif seperti
hedonism dan kekerasan.
H. Faktor Pertahanan dan Keamanan
Kelompok teroris di Indonesia masih terus melakukan
kegiatan propaganda ideologi dan tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat pada
aksi di beberapa daerah di Indonesia. Ketidaksiapan aparat keamanan dalam
berkoordinasi dengan para penegak hukum masih cukup mengkhawatirkan dalam hal
penanggulangan terorisme di waktu-waktu yang akan datang.
Pencegahan Radikalisme
Program
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi paham radikalisme
dilakukan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi. Deradikalisasi
adalah suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisir paham
radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota
masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris.
Deradikalisasi
mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat keyakinan, penanganan
hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya mengubah yang radikal menjadi tidak
radikal. Oleh karena itu deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya
menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para
simpatisasinya, hingga meninggalkan aksi kekerasan.
Deradikalisasi
dilakukan melalui proses meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan
penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan
lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara
menanggapi root cause (akar-akar penyebab) yang mendorong tumbuhnya
gerakan-gerakan ini.
Menurut
Azyumardi (2012), deredikalisasi dilakukan dengan enam pendekatan, yaitu
rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan
keagamaan moderat, dan kewirausahaan. Adapun penjelasan pendekatan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Rehabilitasi. Program rehabilitasi dilakukan dengan dua cara, yaitu; 1) pembinaan
kemandirian untuk melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan
keterampilan dan keahlian, serta 2) pembinaan kepribadian untuk melakukan
pendekatan dengan berdialog kepada para napi teroris agar mindset mereka bisa
diluruskan serta memiliki pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima
pihak yang berbeda dengan mereka. Proses rehabilitasi dilakukan bekerjasama
dengan berbagai pihak seperti polisi, lembaga Pemasyarakatan, Kementerian
Agama, Kemenkokersa, ormas, dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam
menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga Pemasyarakatan.
2. Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat
tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham
tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, redukasi dilakukan dengan
memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang
mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti
bom bunuh diri bukanlah jihad melainkan identik dengan aksi terorisme.
3. Resosialisasi adalah program yang dilakukan dengan cara membimbing mantan narapidana
dan narapidana teroris dalam bersosialisasi, berbaur dan menyatu dengan
masyarakat. Deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan
melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian kegiatan seperti publik
lecture, workshop, dan lainnya. Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis dan
memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.
4. Pembinaan wawasan kebangsaan adalah memoderasi paham kekerasan dengan memberikan pemahaman
nasionalisme kenegaraan, dan kebangsaan Indonesia.
5. Pembinaan keagamaan adalah rangkaian kegiatan bimbingan keagamaan kepada mereka agar
memiliki pemahaman keagamaan yang inklusif, damai, dan toleran. Pembinaan
keagamaan mengacu pada moderasi ideologi, yaitu dengan melakukan perubahan
orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang
inklusif, damai, dan toleran.
6. Pendekatan kewirausahaan dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat mandiri dan
tidak mengembangkan paham kekerasan. Kewirausahaan memiliki peran yang besar
dalam pelaksanaan deradikalisasi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja,
mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan meningkatkan
produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting untuk
menjadikan masyarakat lebih kreatif dan mandiri.
Sumber : https://www.kajianpustaka.com/2019/12/pengertian-ciri-penyebab-dan- pencegahan-radikalisme.html
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar