Minggu, 27 Juni 2021
Sabtu, 26 Juni 2021
Jumat, 25 Juni 2021
Kamis, 24 Juni 2021
Rabu, 23 Juni 2021
Selasa, 22 Juni 2021
Senin, 21 Juni 2021
Minggu, 20 Juni 2021
Senin, 07 Juni 2021
BAHAN BACAAN MATERI TES CPNS WAWASAN KEBANGSAAN
Pengertian,
Ciri, Penyebab dan Pencegahan Radikalisme
Pengertian Radikalisme
Oleh
Muchlisin Riadi
Radikalisme adalah suatu pandangan, paham dan gerakan yang
menolak secara menyeluruh terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik
yang ada dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui
jalan kekerasan.
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin, yaitu radix
yang artinya akar, sumber atau asal mula. Istilah radikal memiliki arti
ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Sedangkan radikalisme
adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal (Widiana, 2012).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007),
radikalisme adalah (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham
atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara
kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus
Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide
politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna
doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.
Radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam
suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun
agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai
wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara penekanan dan ketegangan yang pada akhirnya
mengakibatkan kekerasan.
Berikut definisi dan
pengertian radikalisme dari
beberapa sumber
buku:
·
Menurut Kartodirdjo (1985),
radikalisme adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial
yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk
menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.
·
Menurut Rubaidi (2007), radikalisme
merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan
sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.
·
Menurut Hasani dan Naipospos
(2010), radikalisme adalah pandangan yang ingin melakukan perubahan yang
mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi
yang dianutnya.
·
Menurut Partanto dan Al Barry
(1994), radikalisme adalah paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan
dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
Ciri-ciri Radikalisme
Menurut Masduqi (2012), seseorang atau kelompok yang terpapar paham
radikalisme ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak
sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan mereka
adalah Nabi yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya
manusia biasa. Oleh sebab itu, jika ada kelompok yang merasa benar sendiri maka
secara langsung mereka telah bertindak congkak merebut otoritas Allah.
2. Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan)
dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram.
Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan
persoalan- persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer.
3. Berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah
mereka mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah
mereka justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan dan keberatan.
4. Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam
berdakwah. Ciri- ciri dakwah seperti ini sangat bertolak belakang dengan
kesantunan dan kelembutan dakwah Nabi.
5. Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar
golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya
dan mengabaikan aspek positifnya. Berburuk sangka adalah bentuk sikap
merendahkan orang lain. Kelompok radikal sering tampak merasa suci dan
menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.
6. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Kelompok ini
mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang
menganut demokrasi, mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi,
mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan
mengkafirkan semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka sebab mereka yakin
bahwa pendapat mereka adalah pendapat Allah.
Sedangkan
menurut Rubaidi (2007), ciri-ciri gerakan radikalisme dalam agama ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Menjadikan Islam sebagai ideologi
final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan.
2.
Nilai-nilai Islam yang dianut
mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan
perkembangan sosial dan politik ketika Al- Quran
dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.
3.
Karena perhatian lebih terfokus
pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk
menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati
menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid'ah.
4.
Menolak ideologi Non-Timur Tengah
termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi.
Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan hadits.
5.
Gerakan kelompok ini sering
berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu,
terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.
Faktor Penyebab Radikalisme
Menurut Azyumardi (2012), terdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab atau sumber masalah tumbuhnya paham radikalisme pada seseorang adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat
Al-Quran. Pemahaman seperti itu hampir tidak umumnya moderat, dan karena itu
menjadi arus utama (mainstream) umat.
2.
Bacaan yang salah terhadap sejarah
umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap umat Islam
pada masa tertentu.
3. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam
masyarakat. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan
memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat, sehingga sekarang sudah
waktunya bertaubat melalui pemimpin dan kelompok mereka.
4. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antar agama dalam
masa reformasi.
5. Melalui internet, selain menggunakan media kertas, kelompok radikal
juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan buku-buku dan informasi tentang jihad.
Selain itu, menurut Hikam (2016), terdapat beberapa aspek yang
mempengaruhi masuknya paham radikalisme di Indonesia, yaitu:
A. Faktor Geografi
Letak geografi Republik Indonesia berada di posisi silang
antara dua benua merupakan wilayah yang sangat strategis secara geostrategic
tetapi sekaligus
,rentang terhadap ancaman terorisme internasional. Dengan
kondisi wilayah yang terbuka dan merupakan negara kepulauan, perlindungan
keamanan yang konprenshif sangat diperlukan.
B. Faktor Demografi
Penduduk Indonesia adalah mayoritas beragama Islam dan
mengikuti berbagai aliran pemikiran (schools of thought) serta memiliki budaya
yang majemuk. Oleh karena itu hal ini berpotensi untuk dieksploitasi dan
dimanipulasi oleh kelompok radikal.
C.
Faktor Sumber Kekayaan Alam
Sumber daya kekayaan Indonesia yang melimpah, tapi belum
dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat juga berpotensi dipergunakan oleh
kelompok radikal untuk mengkampanyekan ideologi. Hal ini dilakukan mereka
melalui isu-isu sensitif seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi
dan ketidakmerataan kesejahteraan antar penduduk dan wilayah.
D. Faktor Ideologi
Kondisi
politik pasca reformasi yang masih belum reformasi dan seimbang telah
memberikan peluang bagi proses pergeseran dan bahkan degradasi pemahaman
ideologi. Munculnya berbagai ideologi alternatif dalam wacana kiprah politik
nasional serta ketidaksiapan pemerintah menjadi salah satu penyebab masuknya
pemahaman radikal. Belum lagi, pemerintah yang belum mampu menggalakkan kembali
sosialisasi nilai-nilai dasar dan ideologi nasional Pancasila dalam masyarakat,
ditambah lagi karut marut dalam bidang politik adalah beberapa faktor penyebab utamanya.
E. Faktor Politik
Problem dalam kehidupan politik yang masih mengganjal
adalah belum terwujudnya check and balances sebagaimana yang dikehendaki oleh
konstitusi, terutama dalam rangka sistem pemerintahan Presidensil. Hal ini
berakibat serius bagi pemerintah yang selalu mendapat intervensi partai politik
di Parlemen sehingga upaya pemulihan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat terganggu. Ketidakseimbangan antara harapan rakyat pemilih dengan
kinerja pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menciptakan ketidakpercayaan publik yang tinggi. Hal ini
membuka peluang bagi upaya Destabilisasi politik melalui
berbagai cara dan saluran termasuk
media massa
dan kelompok penekan (Preasure Grups).
F. Faktor Ekonomi
Kemiskinan, pengangguran kesenjangan antara kaya-miskin dan
kesenjangan antara kota dan desa, serta antar daerah. Pengaruh ekonomi global
yang belum kunjung pulih dan stabil, bagaimanapun juga, membuat ekonomi
Indonesia yang tergantung dengan fluktuasi ekonomi pasar global masih belum
bisa berkompetisi dengan pesaing-pesaingnya baik di tingkat regional maupun
internasional.
G. Faktor Sosial Budaya
Bangsa Indonesia yang majemuk kemudian kehilangan jangkar
jati dirinya sehingga mudah terbawa oleh pengaruh budaya cosmopolitan dan pop
(popular culture) yang ditawarkan oleh media (TV, Radio, Jejaring Sosial dan
sebagainya). Kondisi anomie dan alienasi budaya dengan mudah menjangkit kawula
muda Indonesia sehingga mereka sangat rentang terhadap pengaruh negatif seperti
hedonism dan kekerasan.
H. Faktor Pertahanan dan Keamanan
Kelompok teroris di Indonesia masih terus melakukan
kegiatan propaganda ideologi dan tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat pada
aksi di beberapa daerah di Indonesia. Ketidaksiapan aparat keamanan dalam
berkoordinasi dengan para penegak hukum masih cukup mengkhawatirkan dalam hal
penanggulangan terorisme di waktu-waktu yang akan datang.
Pencegahan Radikalisme
Program
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi paham radikalisme
dilakukan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi. Deradikalisasi
adalah suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisir paham
radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota
masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris.
Deradikalisasi
mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat keyakinan, penanganan
hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya mengubah yang radikal menjadi tidak
radikal. Oleh karena itu deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya
menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para
simpatisasinya, hingga meninggalkan aksi kekerasan.
Deradikalisasi
dilakukan melalui proses meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan
penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan
lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara
menanggapi root cause (akar-akar penyebab) yang mendorong tumbuhnya
gerakan-gerakan ini.
Menurut
Azyumardi (2012), deredikalisasi dilakukan dengan enam pendekatan, yaitu
rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan
keagamaan moderat, dan kewirausahaan. Adapun penjelasan pendekatan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Rehabilitasi. Program rehabilitasi dilakukan dengan dua cara, yaitu; 1) pembinaan
kemandirian untuk melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan
keterampilan dan keahlian, serta 2) pembinaan kepribadian untuk melakukan
pendekatan dengan berdialog kepada para napi teroris agar mindset mereka bisa
diluruskan serta memiliki pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima
pihak yang berbeda dengan mereka. Proses rehabilitasi dilakukan bekerjasama
dengan berbagai pihak seperti polisi, lembaga Pemasyarakatan, Kementerian
Agama, Kemenkokersa, ormas, dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam
menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga Pemasyarakatan.
2. Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat
tentang paham radikal, sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham
tersebut. Sedangkan bagi narapidana terorisme, redukasi dilakukan dengan
memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang
mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti
bom bunuh diri bukanlah jihad melainkan identik dengan aksi terorisme.
3. Resosialisasi adalah program yang dilakukan dengan cara membimbing mantan narapidana
dan narapidana teroris dalam bersosialisasi, berbaur dan menyatu dengan
masyarakat. Deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan
melibatkan perguruan tinggi, melalui serangkaian kegiatan seperti publik
lecture, workshop, dan lainnya. Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis dan
memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.
4. Pembinaan wawasan kebangsaan adalah memoderasi paham kekerasan dengan memberikan pemahaman
nasionalisme kenegaraan, dan kebangsaan Indonesia.
5. Pembinaan keagamaan adalah rangkaian kegiatan bimbingan keagamaan kepada mereka agar
memiliki pemahaman keagamaan yang inklusif, damai, dan toleran. Pembinaan
keagamaan mengacu pada moderasi ideologi, yaitu dengan melakukan perubahan
orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang
inklusif, damai, dan toleran.
6. Pendekatan kewirausahaan dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat mandiri dan
tidak mengembangkan paham kekerasan. Kewirausahaan memiliki peran yang besar
dalam pelaksanaan deradikalisasi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja,
mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan meningkatkan
produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting untuk
menjadikan masyarakat lebih kreatif dan mandiri.
Sumber : https://www.kajianpustaka.com/2019/12/pengertian-ciri-penyebab-dan- pencegahan-radikalisme.html
.
Minggu, 06 Juni 2021
MATERI TES CPNS "STRATEGI MENGHADAPI PAHAM RADIKALISME TERORISME – ISIS"
Oleh :
Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Dari Radikalisme ke Terorisme
Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan
jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki
akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat.
Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang.
Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat,
sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang.
Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh
paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.1
Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme.
Radikalisme merupakan suatu sikap yang
mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan
menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan
(violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali
dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat
&keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap
orang lain salah),
3)
eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner
(cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan
seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang
memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam
negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor
internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti
ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern
negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman
keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang
radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang
memilih untuk bergabung
dalam aksi dan jaringan terorisme.
1 A.M. Hendroprioyono, Terorisme:
Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam (Jakarta: Buku Kompas, 2009), hlm.
13.
Lalu
apa itu terorisme? Banyak ragam pengertian dalam mendefinisikan terorisme. Dari
beragam definisi baik oleh para pakar dan ilmuwan maupun yang dijadikan dasar
oleh suatu negara, setidaknya memuat tiga hal: pertama, metode, yakni menggunakan kekerasan; kedua, target, yakni korban warga sipil secara acak, dan ketiga tujuan, yakni untuk menebar rasa
takut dan untuk kepentingan perubahan sosial politik.2 Karena
itulah, definisi yang dijadikan dasar oleh negara Indonesia dalam melihat terorisme
pun tidak dilepaskan dari tiga komponen tersebut
Dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme disebutkan : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan situasi teror atau rasa takut
terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan
cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-oyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.3
Sejarah Penanggulangan Terorisme
Aksi terorisme sebernanya bukanlah hal baru. Sejak awal
kemerdekaan hingga reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif dan
gerakan yang berbeda-beda serta dengan strategi penanggulangan yang
berbeda-beda pula. Di masa Orde Lama kebijakan dan strategi penanggulangan
terorisme dilaksanakan dengan pendekatan keamanan melalui operasi militer
dengan basis UU Subversif. Hampir sama dengan Orde Lama, penanggulangan
terorisme pada masa Orde Baru juga mendasarkan pada UU Subversif dengan
penekanan lebih pada operasi intelijen. Pada era reformasi, demokratisasi,
kebebasan dan perspektif HAM di berbagai sektor telah turut mempengaruhi
kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek
penegakan hukum misalnya lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali.
Pada
perkembangan selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan
Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam
melakukan terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.
Dalam
kebijakan nasional BNPT merupakan leading
sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi
serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Dipimpin oleh
seorang kepala, BNPT
2
Harvey W. Kushner, Encyclopedia of
Terrorism, London : Sage Publication, 2003. Hlm. Xxiii.
3
Lihat UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
mempunyai
tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, bidang
penindakan dan pembinaan kemampuan dan bidang kerjasama internasional. Dalam
menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik
dari hulu ke hilir. Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan
dan penindakan hukum (hard power)
tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).
Dalam
bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai
ke-Indonesiaan serta nilai- nilai non-kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini
dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kontra radikalisasi
diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh
pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain
dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan.
Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang deradikalisasi ditujukan pada kelompok
simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari
deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung
meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam
memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka
sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi
kebangsaan yang memperkuat NKRI.
ISIS: Gerakan Baru, Jaringan Lama
Setelah al-Qaeda, ISIS merupakan salah satu kelompok
terorisme yang telah mengejutkan dunia dengan aksi-aksi brutal dan mampu
menjaring pengaruh besar dari beberapa negara. Apa itu ISIS? ISIS pada awalnya
merupakan kekuatan milisi nasional yang tidak puas dengan pemerintahan pasca
Saddam Hussien yang dikuasai kelompok Syiah. Zarqawi adalah pendiri awal
gerakan ini yang jauh sebelumnya telah berbaiat dengan Osama dan menyatakan
diri berafiliasi dengan al-Qaeda atau AQI (Al-Qaeda
of Iraq) sebelum akhirnya berubah menjadi Islamic State of Iraq ketika dipimpin Abu Bakar al-Baghdady.
Gerakan ini hanya beroperasi di Irak, namun ketika muncul konflik oposisi di
Suriah, gerakan ini memanfaatkan kekisruhan dgn memperlebar kawasan menjadi
ISIS/ISIL. Dengan penaklukan Mosul yang sempat menggemparkan dunia, Juni 2014
mereka mendeklarasikan IS (Islamic State).
Pada
perkembangannya ISIS telah memberikan pengaruh ke tokoh-tokoh radikal di Asia
Tengah seperti Kyrgistan, Tajikistan dan Turkmenistan. Beberapa tokoh Taliban
di Pakistan juga sudah bergabung dengan IS. Terakhir kelompok teroris Boko
Haram juga telah menyatakan diri berbaiat pada ISIS. Tidak hanya di Timur
Tengah ISIS juga telah merambah anak-anak muda Eropa dan Amerika
melalui
penyebaran media Ash Shabaab. Di Indonesia Pengaruh IS ke Indonesia melalui
tokoh dan kelompok radikal teroris lama. Pada Oktober 2014 sejak 2011
diperkirakan 15,000 orang dari belahan dunia telah bergabung ke ISIS.
Secara
ideologis ISIS memiliki kesamaan keyakinan dengan al-Qaeda yang menganut paham takfiry dan perjuangan
menegakkan khalifah Islam dengan kekerasan. Namun, perbedaannya dengan al-Qaeda
mereka menempatkan Barat dan sekutu
sebagai musuh, ISIS menempatkan kalangan/kelompok yang menghalangi perjuangannya
baik Barat, Syiah, bahkan Sunni sebagai musuh. Al- Qaeda melalui Osama tidak pernah menjadi kepala negara atau
diangkat menjadi kepala negara, ABB melalui ISIS telah mendeklarasikan negara
dan mengangkat dirinya sebagai khalifah. ISIS saat ini telah menjadi magnet
baru bagi pejuang- pejuang asing (foreign
terrorist fighter) yang mereka klaim mujahidun
li nashrti al- islam wa al-muslimin karena sudah memiliki wilayah resmi
layaknya negara sendiri ( di Irak :
Falluja, Kirkuk, Ramadi hingga Mosul, di Suriah: A’zaz, hingga wilayah Bukmal).
Di
Indonesia, penyebaran ISIS cukup massif karena beberapa tokoh radikal yang
berpengaruh telah menyatakan diri bergabung ke gerakan ini seperti ABB, Oman
Abdurrahman dan Santoso. Di samping itu beberapa kelompok radikal lama juga
banyak mendeklarasikan diri mendukung gerakan ISIS seperti Mujahidin Indonesia
Timur, Jamaah Ansharut Tauhid, Jama’ah Islamiyah, Forum Aktivis Syariat Islam, Awhid wal Jihad, Forum Pendukung Daulah,
Asybal Tauhid Indonesia, Mimbar Tauhid wal Jihad, KUIB (Bekasi) dan masih
banyak yang lain dalam bentuk nama
yang berubah-rubah. Dari gerakan ini banyak ditemukan para pejuang asing yang telah bergabung ke ISIS. Bahkan
untuk pejuang dari Indonesia pada Oktober 2014, dibentuk IS Melayu “Katibah
Liddaulah” di suriah oleh Bachrumsyah & Abu Jandal yg menampung warga
Indonesia dan Malaysia yang diperkirakan jumlah 100 orang.
Selain
menggunakan penyebaran langsung, ISIS di merupakan gerakan yang sangat pandai
memanfaatkan media internet sebagai media propaganda. ISIS merupakan salah
satu gerakan teroris yang mampu memanfaatkan media sosial sebagai media
propaganda sekaligus rekuritmen keanggotaan. Untuk konteks di Indonesia hingga Maret 2015 kicauan
tentang ISIS dari Indonesia berkontribusi 20%
dari total tweet dunia (112.075 /dunia 21.722 /Indonesia). Video pertama
muncul pada 31 Juli di Youtube
mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS. Propaganda dilanjutkan dengan
video lain yang berisi ancama ISIS terhadap TNI Jend Muldoko, Kapolri, Baser
dan seluruh bangsa Indonesai, akan membantai orang
orang
yang tidak sepaham dengan mereka dan masih ada contoh-contoh lain pola
propaganda ISIS di Indonesia.
Kerentanan dan Penangkalan Pemuda terhadap Radikal Terorisme
Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda
berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005)
sebagai cognitive opening (pembukaan
kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada
penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti
itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan
kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari
problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang
selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial
maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan
terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa
kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan
perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan melancarkan agenda
kekerasannya.
Sangat
memperihatinkan ketika melihat berbagai fakta yang mempertontonkan kedekatan pemuda dengan
budaya kekerasan. Kehadiran Islamic State
of Iraq and Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan
generasi muda dengan berbagai provokasi, propaganda dan ajakan kekerasan yang menggiurkan. Sejak kemunculannya
menghentakkan situasi keamanan bangsa ini, ISIS
setidaknya telah mampu menggetarkan gairah anak muda untuk ikut terlibat dalam
gerakan politik kekerasan di Suriah. Beberapa contoh yang bisa disebutkan
adalah meninggal di Irak saat bergabung dengan ISIS. Wildan merupakan santri di
Pondok Al Islam di Tenggulun, Lamongan, yang dikelola oleh keluarga Amrozi
terpidana bom Bali 2002. Dalam usianya yang masih belia pemuda asal Lamongan
ini memilih mengkahiri hidupnya di tanah penuh konflik. Tidak hanya dari
kalangan laki-laki, Asyahnaz Yasmin (25 tahun), termasuk satu dari 16 warga
negara Indonesia yang ditangkap pemerintah Turki. Gadis asal Bandung ini
setelah dipulangkan ke Indonesia, ia ditolak keluarganya dan bupati setempat.
Kemensos RI pun menampungnya kembali
di rumah perlindungan dan trauma centre. Dan tentu
saja masih banyak cerita lainnya.
Fakta-fakta
tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan kalangan generasi muda dari
keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh kelompok radika
baik secara langsung maupun melalui media online yang menjadi sangat populer
akhir-akhir ini. Karena itulah, upaya membentengi generasi muda
dari
keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan menjadi tugas bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting
untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama Pendidikan,
melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan
kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda. Kedua, Keluarga,
melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi
muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga,
komunitas: melalui peran tokoh masyarakat di
lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi
muda.
Selain
peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan,
keluarga dan lingkungan masyarakat, generasi muda juga dituntut mempunyai
imuntas dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal
terorisme. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan generasi muda,
dalam rangka menangkal pengaruh paham dan ajaran radikal yakni
1) tanamkan jiwa
nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI, 2) perkaya wawasan keagamaan yang
moderat, terbuka dan toleran, 3) bentengi keyakinan diri dengan selalu waspada
terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan
masyarakat maupun dunia maya, 4) membangun jejaring dengan komunitas damai baik
offline maupun online untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan 5) bergabunglah
di damai.id sebagai media komunitas dalam rangka membanjiri dunia maya dengan
pesan-pesan perdamaian dan cinta NKRI.
Penutup
Terorisme merupakan tindakan kejahatan yang mempunyai akar
dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan pendekatan
kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Keterlibatan komunitas masyarakat
terutama lingkungan lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat
serta generasi muda itu sendiri dalam
mencegah terorisme menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan
keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan
kehidupan bangsa dan negara tercinta yang damai, adil dan sejahtera.
“Bersama
Cegah Terorisme”
Sabtu, 05 Juni 2021
MATERI TES CPNS RADIKALISME
A. Pengertian Radikalisme Secara Umum
Sebenarnya, apa arti radikalisme? Menurut para ahli,
Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin
melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara
kekerasan/ ekstrim.
Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan
seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam
mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat
dan secara drastis
serta bertentangan dengan sistem
sosial yang berlaku.
Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena
kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai,
termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka.
Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan Agama tertentu, pada
dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran Agama.
B.
Sejarah Radikalisme
Pada dasarnya radikalisme sudah ada sejak jaman dahulu
karena sudah ada di dalam diri manusia. Namun,
istilah “Radikal” dikenal
pertamakali setelah Charles James Fox memaparkan tentang
paham tersebut pada tahun 1797.
Saat itu, Charles James Fox menyerukan “Reformasi
Radikal” dalam sistem pemerintahan di Britania Raya (Inggris). Reformasi
tersebut dipakai untuk menjelaskan pergerakan yang mendukung revolusi parlemen
di negara tersebut. Pada akhirnya ideologi radikalisme tersebut mulai
berkembang dan kemudian berbaur dengan ideologi liberalisme.
Seperti yang disebutkan pada pengertian radikalisme di
atas, radikalisme seringkali dikaitkan dengan agama tertentu, khususnya Islam.
Hal ini dapat kita lihat dari adanya kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang melakukan
teror terhadap
beberapa negara di dunia dengan membawa/ menyebutkan simbol- simbol agama Islam dalam setiap aksi teror mereka.
Tindakan
ISIS dan dukungan dari sebagian kecil umat Islam terhadap ISIS pada akhirnya
membuat sebagian masyarakat dunia menganggap ISIS merupakan gambaran dari
ajaran Islam. Namun, tentu saja hal tersebut tidak benar adanya karena sebagian
besar umat Islam justru mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh ISIS.
C.
Ciri-Ciri Radikalisme
Radikalisme sangat mudah kita kenali. Hal tersebut karena
memang pada umumnya penganut ideologi ini ingin dikenal/ terkenal dan ingin
mendapat dukungan lebih banyak orang. Itulah sebabnya radikalisme selalu
menggunakan cara-cara yang ekstrim.
Berikut ini adalah ciri-ciri radikalisme:
·
Radikalisme adalah tanggapan pada kondisi yang
sedang terjadi, tanggapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi,
penolakan, bahkan perlawanan dengan keras.
·
Melakukan upaya penolakan secara terus-menerus dan
menuntut perubahan drastis yang diinginkan terjadi.
·
Orang-orang yang menganut paham radikalisme biasanya
memiliki keyakinan yang kuat terhadap program yang ingin mereka jalankan.
·
Penganut radikalisme tidak segan-segan menggunakan
cara kekerasan dalam mewujudkan keinginan mereka.
·
Penganut radikalisme memiliki anggapan bahwa semua
pihak yang berbeda pandangan dengannya adalah
bersalah.
D.
Faktor Penyebab Radikalisme
Mengacu pada pengertian radikalisme di atas, paham ini
dapat terjadi karena adanya beberapa faktor penyebab, diantaranya:
1.
Faktor Pemikiran
Radikalisme dapat berkembang karena adanya pemikiran
bahwa segala sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara yang
kaku dan menggunakan kekerasan.
2.
Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi juga berperan membuat paham radikalisme
muncul di berbagai negara. Sudah menjadi kodrat manusia untuk bertahan hidup,
dan ketika terdesak karena masalah ekonomi maka manusia dapat melakukan apa
saja, termasuk meneror manusia lainnya.
3. Faktor Politik
Adanya pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang
pemimpin negara hanya berpihak pada pihak tertentu, mengakibatkan munculnya
kelompok- kelompok masyarakat yang terlihat ingin menegakkan keadilan.
Kelompok-kelompok tersebut bisa dari kelompok sosial,
agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan keadilan, kelompok-kelompok ini
seringkali justru memperparah keadaan.
4.
Faktor Sosial
Masih erat hubungannya dengan faktor ekonomi. Sebagian
masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya berpikiran sempit sehingga mudah percaya
kepada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat membawa perubahan drastis
pada hidup mereka.
5.
Faktor Psikologis
Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga dapat menjadi
faktor penyebab radikalisme. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah
percintaan, rasa benci dan dendam, semua ini berpotensi membuat seseorang
menjadi radikalis.
6. Faktor Pendidikan
Pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab munculnya
radikalis di berbagai tempat, khususnya pendidikan agama. Tenaga
pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah
dapat menimbulkan radikalisme di dalam diri seseorang.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Radikalisme
Radikalisme merupakan paham yang salah dan banyak
menganggapnya sesat.
Namun, di dalam radikalisme juga terdapat kelebihan.
1. Kelebihan
·
Penganut radikalisme punya tujuan yang jelas dan
sangat yakin dengan tujuan tersebut.
·
Penganut radikalisme memiliki
kesetiaan dan semangat
juang yang sangat
besar dalam mewujudkan tujuannya.
2. Kekurangan
·
Penganut radikalisme tidak dapat melihat kenyataan
yang sebenarnya karena beranggapan bahwa semua yang berseberangan pendapat
adalah salah.
·
Umumnya memakai cara kekerasan dan cara negatif
lainnya dalam upaya mewujudknya tujuannya.
·
Penganut radikalisme menganggap semua pihak yang
berbeda pandangan dengannya adalah musuh yang harus disingkirkan.
·
Penganut radikalisme tidak perduli dengan HAM (Hak
Asasi Manusia).
F.
Cara Mengatasi Radikalisme
Berikut ini 4 strategi yang harus dilakukan untuk
memberantas radikalisme yaitu:
1. Meningkatkan
Pemahaman Keagamaan
Radikalisme disebabkan oleh minimnya pemahaman agama.
Belajar agama secara dangkal dapat memicu mereka melakukan kekerasan, bahkan
atas nama agama. Tindakan terorisme balakangan ini dilakukan dengan cara bunuh diri, misalnya bom bunuh diri,
sebab Islam justru melarang tindakan bunuh diri, sehingga tindakan terorisme
dalam bentuk apapun sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Tindakan terorisme
mengatasnamakan Islam sering mengaitkan perbuatannya dengan jihad, padahal
mereka sebenarnya tidak tahu makna jihad sesungguhnya. Untuk itu kita harus
belajar agama pada yang ahlinya yang tahu betul apa arti jihad sesungguhnya.
2. Membentuk
Komunitas-Komunitas Damai di Lingkungan Sekitar
Pemuda bisa menjadi pionir dalam pembentukan komunitas
cinta damai di lingkungannya. Komunitas-komunitas tersebut lah yang melakukan sosialisasi ke masyarakat
maupun ke sekolah-sekolah akan bahaya paham radikalisme. Selain itu
komunitas-komunitas ini juga ikut aktif dalam pengawasan sehingga jika dalam
lingkungannya terdapat hal-hal yang mencurigakan terkait penyebaran virus
radikalisme segera melaporkannya ke pihak yang memiliki wewenang seperti tokoh
masyarkat dan tokoh agama.
3. Menyebarkan Virus
Damai di Dunia Maya
Hasil penelitian terbaru
mencatat pengguna internet
di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan
remaja diprediksi mencapai 30 juta. Mereka ini menggunakan internet hanya untuk
mencari informasi, untuk terhubung dengan teman (lama dan baru) dan untuk hiburan.
Hal inilah yang menjadi celah bagi para penyebar
paham radikalisme untuk menyebarkan pahamnya di dunia maya. Oleh karena itu,
dibutuhkan aksi dari pemuda sebagai pengguna internet terbanyak di Indonesia
untuk menangkal informasi-informasi yang menyesatkan dengan mengunggah konten
damai di social media seperti tulisan,
komik, dan meme. Sehingga konten-konten
damai yang
bertebaran di dunia maya dapat mengalahkan konten-konten radikal yang
disebarkan oleh kelompok-kelompok radikal.
4.
Menjaga Persatuan dan Kesatuan
Generasi Muda adalah generasi penerus Bangsa yang
mempunyai kemampuan, kepinteran, Keberanian dan mempunyai tekad
yang kuat untuk melindungi Bangsa Indonesia yang
mereka cintai. Generasi muda adalah Warga Negara yang menjadi unsur penting
dalam suatu Negara. Menunjukkan sikap bela Negara para Generasi Muda saat ini dapat dilakukan dengan menampilkan
perilaku-perilaku positif yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dengan
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa yang bertujuan untuk melawan
segala macam paham kebencian dan kekerasan yang ingin merusak keutuhan NKRI.
5. Menghindari dan
memberantas Hoax
Membiasakan diri untuk menjaga diri dari berita hoax
terutama yang beredar melalui media social. Oleh karena itu agar selalu
melakukan konfirmasi kebenaran atas suatu berita, tidak mudah diprovokasi dan
tidak membagikan berita yang belum teruji sumber dan kebenarannya.