BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Motivasi ialah suatu konsep yang menguraikan tentang
kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri karyawan yang memulai dan mengarahkan
perilaku. (Gibson)
Ialah keinginan untuk berusaha atau berupaya sekuat tenaga untuk mencapai
tujuan organisasi yang dikondisikan atau ditentukan oleh kemampuan usaha/upaya
untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. (Stephen P. Robinson)
Dari dua batasan atau definisi tersebut pada intinya adalah mempunyai
kesamaan pengertian walaupun ada perbedaan redaksional. Motivasi secara umum
berkaitan dengan usaha untuk memenuhi semua tujuan sehingga fokus pembahasan
dipersempit pada tujuan organisasional supaya dapat merepleksikan perhatian
kita pada perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Dalam batasan/definisi
tersebut didapat tiga elemen kunci, yaitu: usaha tujuan, organisasi, dan
kebutuhan.
Dalam pengelolaan organisasi seorang manajer harus mempertimbangkan
suatu motivasi yang berbeda untuk sekelompok orang, yang dalam banyak hal tidak
dapat diduga sebelumnya. Keanekaragaman ini menyebabkan perbedaan perilaku,
dalam hal ini beberapa hal berkaitan dengan titik tolak individu yaitu
kebutuhan dan tujuan.
Setiap anggota
organisasi dalam mencapai tujuan organisasi timbul adanya perasaan kepuasan kerja
dan ketidak puasan. Oleh karena itulah setiap pimpinan atau manajer suatu
organisasi perlu menciptakan suatu iklim yang sehat secara etis bagi anggotanya
atau pegawainya, dimana mereka melakukan pekerjaan secara maksimal dan
produktif. Hal ini sudah barang
tentu adanya perilkau individu dalam organisasi yang merupakan interaksi antara
karakteristik individu dan karakteristik organisasi (Thoha.1998).
Perilaku
organisasi merupakan suatu perilaku terapan yang dibangun atas sumbangan dari
sejumlah disiplin perilkau, seperti yang menonjol psokologi, sosiologi,
psikologi sosial, antropologi dan ilmu politik (Robbins.2001). sedangkan
yang menyangkut kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan yang
disumbangkan dalam psikologi. Selain itu diperluas juga yang mencangkup
pembelajaran, persepsi, kepribadian, pelatihan, keefektifan kepemimpinan,
kebutuhan dan kekuatan motivasi, proses pengambilan keputusan, penilaian
kinerja, pengukuran sikap, teknik seleksi pegawai, desain pekerjaan dan stres
kerja.
Demikian pula organisasi pendidikan sebagai institusi
penyelenggaraan pendidikan mengharapkan suatu outcome atau produktivitas
yang memuaskan sebagaimana yang ditetapkan dalam tujuan pendidikan outcome atau
produktivitas itu ditentukan baik oleh teknologi (sistem, kurikulum, sarana
prasarana, pembiayaan dan manajemen) maupun tenaga kependidikan. Disini
kepuasan kerja atau kepuasaan belajar mengajar merupakan salah satu indikator
dari seperangkat kebutuhan manusia dalam organisasi pendidikan. Dengan perkataan lain kepuasaan harus menjadi tujuan
utama organisasi setelahnya produktivitas.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah berdasarkan
latar belakang masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan motivasi kerja?
2. Apa saja teori-teori motivasi?
3.
Apa yang dimaksud dengan kepuasaan kerja dalam organisasi?
C.
TUJUAN
Adapun tujuan berdasarkan rumusan
masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian motivasi kerja.
2. Untuk mengetahui apa saja teori-teori motivasi.
3.
Untuk mengetahui teori kepuasaan kerja dalam
organisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MOTIVASI KERJA
Motivasi menurut Luthans (1992) berasal dari kata
latin movere, artinya “bergerak”. Motivasi merupakan suatu proses yang
dimulai dengan adanya kekurang psikologis atau kebutuhan yang menimbulkan suatu
dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau insentif. Pengertian proses
motivasi ini dapat difahami melalui hubungan antara kebutuhan, dorongan dan
insentif (tujuan).
Gambar-1
The Basic Motivation Process
NEEDS
DRIVES
INCENTIVES
Motivasi di dalam dunia kerja adalah sesuatu yang dapat
menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Menurut As’ad (2004) motivasi kerja
dalam psikologi karya biasa disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya
motivasi seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan
dengan prestasi kerja. Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi antara
motivasi kerja, kemampuan dan peluang. Keterkaiatan antara motivasi dan
prestasi kerja dapat di rumuskan sebagai berikut:
|
Bila motivasi kerja rendah, maka prestasi kerja akan rendah
meskipun kemampuannya ada dan baik, serta memiliki peluang.
Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau
reaktif. Pada motivasi kerja yang proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan
kemampuan-kemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh pekerjaannya atau akan
berusaha untuk mencari, menemukan atau menciptakan peluang di mana ia akan
menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berprestasi yang tinggi.
Sebaliknya, motivasi kerja yang bersifat reaktif, cenderung menunggu upaya atau
tawaran dari lingkungannya.
Motivasi kerja merupakan pemberian
dorongan. Pemberian dorongan ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang
atau karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sesuai dengan
tuntutan perusahaan. Oleh karena itu seorang manajer dituntut pengenalan atau
pemahaman akan sifat dan karateristik karyawannya, suatu kebutuhan yang
dilandasi oleh motif dengan penguasaan manajer terhadap perilaku dan tindakan
yang dibatasi oleh motif, maka manajer dapat mempengaruhi bawahannya untuk
bertindak sesuai dengan keinginan organisasi.
Menurut Martoyo (2000) motivasi
kinerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja. Menurut
Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah suatu faktor yang mendorong
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu, oleh karena
itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku
seseorang. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki
sesuatu faktor yang mendorong perbuatan tersebut. Motivasi atau dorongan untuk
bekerja ini sangat penting bagi tinggi rendahnya produktivitas perusahaan.
Tanpa adanya motivasi dari para karyawan atau pekerja untuk bekerja sama bagi
kepentingan perusahaan maka tujuan yang telah ditetapkan tidak akan tercapai.
Sebaliknya apabila terdapat motivasi yang besar dari para karyawan maka hal
tersebut merupakan suatu jaminan atas keberhasilan perusahaan dalam mencapai
tujuannya.
Motivasi atau dorongan kepada
karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi tercapainya tujuan bersama ini
terdapat dua macam, yaitu:
1. Motivasi finansial, yaitu dorongan
yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan
tersebut sering disebut insentif.
2. Motivasi nonfinansial, yaitu
dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial/ uang, akan tetapi berupa
hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusia dan lain sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya
suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah
kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidak
seimbangan.
Teori motivasi dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu teori kepuasan (content theory) dan teori proses (process
theory). Teori ini dikenal dengan nama konsep Higiene, yang mana cakupannya
adalah:
1. Isi Pekerjaan, Hal ini berkaitan langsung dengan
sifat-sifat dari suatu pekerjaan yang dimiliki oleh tenaga kerja yang isinya
meliputi: Prestasi, upaya dari pekerjaan atau karyawan sebagai aset jangka
panjang dalam menghasilkan sesuatu yang positif di dalam pekerjaannya,
pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, pengembangan potensi
individu.
2. Faktor Higienis, suatu motivasi yang
dapat diwujudkan seperti halnya : gaji dan upah, kondisi kerja, kebijakan dan
administrasi perusahaan, hubungan antara pribadi, kualitas supervisi.
Pada teori tersebut bahwa
perencanaan pekerjaan bagi karyawan haruslah menunjukkan keseimbangan antara
dua faktor.
B.
TEORI-TEORI MOTIVASI
Teori motivasi bervariasi, yaitu menurut isi motivasi dan
proses motivasi. Teori yang berhubungan dengan pengidentifikasian isi motivasi
berkaitan dengan apa yang memotivasi tenaga kerja. Sedangkan teori proses lebih
berkaitan dengan bagaimana proses motivasi berlangsung. Sehingga dalam modul 2
ini akan dibahas delapan teori motivasi, empat teori dari teori motivasi isi,
yaitu: teori tata tingkat-kebutuhan, teori eksistensi-relasi-pertumbuhan, teori
dua faktor, teori motivasi berprestasi, dan empat teori motivasi proses, yaitu:
teori penguatan, teori tujuan, teori expectacy, dan teori equity.
Kedelapan teori ini akan memberikan kontribusi tentang motivasi kerja.
1.
Teori Motivasi Isi
a.
Teori Tata Tingkat-Kebutuhan
Setiap individu memiliki needs (kebutuhan, dorongan
intrinsic dan ekstrinsic factor), yang pemunculannya sangat terkait dengan
dengan kepentingan individu. Dengan kenyataan ini, kemudian Maslow membuat
“need hierarchy theory” untuk menjawab tentang tingkatan kebutuhan manusia.
Bagitu juga individu sebagai karyawan tidak bisa melepaskan diri dari
kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan manusia dapat
digolongkan dalam lima tingkatan sebagai berikut:
1) Physiological needs (kebutuhan bersifat biologis).
Merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Contohnya: kita memerlukan
makan, air, dan udara untuk hidup. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang
sangat primer, karena kebutuhan ini telah ada sejak lahir. Jika kebutuhan ini
tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
2) Safety needs (kebutuhan rasa aman). Merupakan
kebutuhan untuk merasa aman baik secara fisik maupun psikologis dari gangguan.
Apabila kebutuhan ini diterapkan dalam dunia kerja maka individu membutuhkan
keamanan jiwanya ketika bekerja.
3) Social needs (kebutuhan-kebutuhan
sosial). Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, sehingga mereka memiliki
kebutuhan-kebutuhan sosial, sehingga mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan
sosial sebagai berikut:
§ Kebutuhan akan perasaan diterima
oleh orang lain di mana ia hidup dan bekerja
§ Kebutuhan akan perasaan dihormati,
karena setiap manusia merasa dirinya penting
§ Kebutuhan untuk dapat berprestasi
§ Kebutuhan untuk ikut serta (sense
of participation)
4) Esteem needs (kebutuhan akan harga
diri). Penghargaan meliputi faktor internal, sebagai contoh, harga diri,
kepercayaan diri, otonomi, dan prestasi; dan faktor eksternal, sebagai contoh,
status, pengakuan, dan perhatian. Dalam dunia kerja, kebutuhan harga diri dapat
terungkap dalam keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk diakui prestasi
kerjanya. Keinginan untuk didengar dan dihargai pandangannya.
5) Self Actualization. Kebutuhan akan aktualisasi diri,
termasuk kemampuan berkembang, kemampuan mencapai sesuatu, kemampuan mencukupi
diri sendiri. pada tingkatan ini, contohnya karyawan cenderung untuk
selalu mengembangkan diri dan berbuat yang terbaik.
Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai tingkat tinggi
dan tingkat rendah. Kebutuhan tingkat rendah, kebutuhan yang harus dipuaskan
pertama kali adalah kebutuhan fisiologi. Kemudian kebutuhan itu diikuti oleh
kebutuhan keamanan, sosial dan kebutuhan penghargaan. Di puncak dari hirarki
adalah kebutuhan akan pemenuhan diri sendiri. Setiap kebutuhan dalam tata
tingkat tersebut harus dipuaskan menurut tingkatannya. Ketika kebutuhan telah
terpuaskan, maka kebutuhan berhenti memotivasi perilaku, dan kebutuhan
berikutnya dalam hirarki selanjutnya akan mulai memotivasi perilaku. Dalam
dunia kerja, orang sewaktu kerja melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan
paling rendah yang belum terpuaskan.
b.
Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan
Teori ERG adalah siangkatan dari Existence, Relatedness,
dan Growth needs, yang dikembangkan oleh Alderfer, yang merupakan suatu
modifikasi dan reformulasi dari teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow.
Alderfer berargumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan inti,
yaitu:
1) Kebutuhan eksistensi (existence
needs), merupakan kebutuhan akan substansi material, seperti keinginan
untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan fisiological dan rasa aman dari Maslow.
2) Kebutuhan hubungan (relatedness
needs), merupakan kebutuhan untuk memelihara hubungan antarpribadi yang
penting. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang
lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang
bermakna dengan keluarga, teman dan rekan kerja. Kebutuhan ini mencakup
kebutuhan sosial dan dan bagian eksternal dari esteem (penghargaan) dari
Maslow.
3) Kebutuhan pertumbuhan (growth
needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk
mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi, juga
termasuk bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri Maslow.
Teori ERG mengandung suatu dimensi frustasi-regresi. Dalam
teori ERG, dinyatakan bahwa apabila suatu tingkat kebutuhan dari urutan
tertinggi terhalang, akan terjadi hasrat individu untuk meningkatkan kebutuhan
tingkat lebih rendah. Sebagai contoh, ketidakmampuan memuaskan suatu kebutuhan
akan interaksi sosial, akan meningkatkan keinginan untuk memiliki banyak uang
atau kondisi yang lebih baik. Jadi frustasi (halangan) dapat mendorong pada
suatu kemunduran yang lebih rendah.
c.
Teori Dua Faktor
Penelitian Herzberg menghasilkan
dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut yaitu:
1)
Serangkaian
kondisi ekstrinsik, yaitu kondisi kerja ekstrinsik seperti upah dan
kondisi kerja tersebut bersifat ekstren tehadap pekerjaan sepeti:
jaminan status, prosedur, perusahaan, mutu supervisi dan mutu hubungan antara
pribadi diantara
rekan kerja, atasan dengan bawahan.
2)
Serangkaian
kondisi intrinsik, yaitu kondisi kerja intrinsik seperti tantangan pekerjaan
atau rasa berprestasi, melakukan pekerjaan yang baik, terbentuk dalam pekerjaan
itu sendiri. Faktor-faktor dari rangkaian kondisi intrinsik dsebut pemuas atau
motivator yang meliputi: prestasi (achivement),
pengakuan (recognation), tanggung
jawab (responsibility), kemajuan (advencement), dan kemungkinan berkembang
(the possibility of growth).
Herzberg (dalam Kreitner & Kinicki, 2004) membedakan dua
faktor yang mempengaruhi motivasi para pekerja dengan cara yang berbeda, faktor
motivator dan faktor hygiene. Faktor motivasi mencakup faktor-faktor yang
berkaitan dengan isi pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan,
yaitu: tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, pencapaian
prestasi, dan pengakuan. Herzberg menyatakan ini sebagai faktor motivator.
Dinamakan sebagai faktor motivator, karena masing-masing diasosiasikan dengan usaha
yang keras dan kinerja yang bagus. Motivator menyebabkan seseorang bergerak (move)
dari keadaan tidak puas kepada kepuasan. Oleh karena itu Herzberg
memprediksikan bahwa manajer dapat memotivasi individu dengan memasukkan
motivator ke dalam pekerjaan individu.
Ketidakpuasan kerja terutama diasosiasikan dengan
faktor-faktor di dalam keadaan atau lingkungan pekerjaan. Yaitu berupa:
aturan-aturan administrasi dan kebijaksanaan perusahaan, supervisi, hubungan
antar pribadi, kondisi kerja, gaji dan sebagainya. faktor-faktor ini dinamakan
dengan faktor hygien. Manajer yang ingin menghilangkan faktor-faktor
ketidakpuasan kerja lebih baik menempuh cara dengan menciptakan ketentraman
kerja.
Jadi, menurut teori ini, perbaikan salary dan working
conditions tidak akan enimbulkan kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidak
puasan. Selanjutnya dikatakan oleh Herzberg, bahwa yang bisa memacu orang untuk
bekerja dengan baik dan bergairah (motivator) hanyalah kelompok satisfiers.
Untuk satisfiers ini kadang-kadang diberi nama lain sebagai intrinsic
factor, job content, dan motivator. Sedangkan sebutan lain yang sering
digunakan untuk dissatisfiers ialah extrinsic factor, cob context dan
dan hygiene factor .
Kunci untuk memahami teori motivator-hygien adalah memahami
bahwa lawan “kepuasan” bukan “ketidakpuasan”. Lawan kepuasan adalah “tidak ada
kepuasan”. Dan lawan ketidakpuasan adalah “tidak ada ketidakpuasan”.
d.
Teori Motivasi Berprestasi
Menurut David McClelland (dalam Anoraga & Suyati, 1995)
ada tiga macam motif atau kebutuhan yang relevan dengan situasi kerja, yaitu:
1) The need for achievement (nAch), yaitu kebutuhan untuk berprestasi,
untuk mencapai sukses.
2) The need for power (nPow), kebutuhan untuk dapat memerintah
orang lain.
3) The need for affiliation (nAff), kebutuhan akan kawan, hubungan
akrab antar pribadi.
Menurut Mc Clelland (dalam As’ad, 2004) ketiga kebutuhan
tersebut munculnya sangat dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik.
Apabila individu tersebut tingkah lakunya didorong oleh tiga kebutuhan maka
tingkah lakunya akan menampakkan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tingkah laku individu yang didorong
oleh kebutuhan berprestasi yang tinggi akan nampak sebagai berikut:
§ Berusaha melakukan sesuatu dengan
cara-cara yang baru dan kreatif
§ Mencari feed back (umpan balik)
tentang perbuatannya
§ Memilih resiko yang moderat (sedang)
di dalm perbuatannya. Dengan Memilih resiko yang sedang berarti masih ada
peluang untuk berprestasi yang lebih tinggi
§ Mengambil tanggung jawab pribadi
atas perbuatan-perbuatannya
2) Tingkah laku individu yang didorong
oleh untuk berkuasa yang tinggi akan nampak sebagai berikut:
§ Berusaha menolong orang lain
walaupun pertolongan itu tidak diminta
§ Sangat aktif dalam menentukan arah
kegiatan dari organisasi di mana ia berada
§ Mengumpulkan barang-barang atau
menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise
§ Sangat peka terhadap struktur
pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi
3) Tingkah laku individu yang didorong
oleh kebutuhan untuk bersahabat akan nampak sebagai berikut:
§ Lebih memperhatikan segi hubungan
pribadi yang ada dalam pekerjaannya, daripada segi tugas-tugas yang ada pada
pekerjaan itu
§ Melakukan pekerjaannya lebih efektif
apabila bekerjasama bersama orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif
§ Mencari persetujuan atau kesepakatan
dari orang lain
§ Lebih suka dengan orang lain
daripada sendiri
Karyawan yang memiliki nAch tinggi lebih senang menghadapi
tantangan untuk berprestasi dari pada imbalannya. Perilaku diarahkan ke tujuan
dengan kesukaran menengah. Karyawan yang memiliki nPow tinggi, punya semangat
kompetisi lebih pada jabatan dari pada prestasi. Ia adalah tipe seorang yang
senang apabila diberi jabatan yang dapat memerintah orang lain. Sedangkan pada
karyawan yang memiliki nAff tinggi, kurang kompetitif. Mereka lebih senang
berkawan, kooperatif dan hubungan antar personal yang akrab.
Kebutuhan-kebutuhan yang bervariasi ini akan muncul sangat dipengaruhi oleh
situasi yang sangat spesifik.
2. Teori Motivasi Proses
a.
Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori penguatan menggunakan pendekatan tingkah laku.
Penganut teori ini memandang tingkah laku sebagai akibat atau dipengaruhi
lingkungan. Keadaan lingkungan yang terus berulang akan mengendalikan tingkah
laku. Jewell dan Siegall (1998) menjelaskan lebih lanjut model dari
penguatan, yaitu melalui tiga prinsip:
1) Orang tetap melakukan hal-hal yang
mempunyai hasil yang memberikan penghargaan
2) Orang menghindari melakukan hal-hal
yang mempunyai hasil yang memberikan hukuman
3) Orang akhirnya akan berhenti
melakukan hal-hal yang tidak mempunyai hasil yang memberikan penghargaan
ataupun hukuman.
Gambar 2. Model Penguatan dari Motivasi Kerja
(Situasi
kerja)
(dari karyawan) (dari
lingkungan)
b.
Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Locke (dalam Berry, 1998). Locke
berpendapat bahwa maksud-maksud untuk bekerja kearah suatu tujuan merupakan
sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, tujuan memberitahukan karyawan apa
yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya akan dihabiskan.
Lebih tepatnya teori penetapan tujuan mengenal bahwa tujuan
yang khusus dan sulit menghantar kepada kinerja yang lebih tinggi. Menurut
Berry (1998) lima komponen dasar tujuan untuk meningkatkan tingkat motivasi
karyawan, yaitu: (1) tujuan harus jelas (misalnya jumlah unit yang harus
diselesaikan dalam satu jam), (2) tujuan harus mempunyai tingkat kesulitan
menengah sampai tinggi, (3) karyawan harus menerima tujuan itu, (4) karyawan harus
menerima umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai tujuan tersebut,
(5) tujuan yang ditentukan secara partisipasif lebih baik dari pada tujuan yang
ditentukan begitu saja.
c.
Teori Harapan (Expectancy Theory)
Pertama kali dikemukakan oleh Heider (dalam As’ad, 2004).
Pendekatan teori harapan mengenai performance kerja dirumuskan sebagai berikut:
|
P = performance, M = motivation dan A = ability.
Konsep ini akhirnya sangat populer sehingga rumusan kognitif sudah banyak
sekali variasinya. Di antara berbagai variasi terdapat beberapa model yang
dapat Kita kaji diantaranya:
1)
Model Vroomian
Model harapan dari Vroom tentang motivasi dan ability.
Menurut model ini Performance kerja seseorang (p) merupakan
fungsi dari interaksi perkalian antara motivasi (M) dan ability (kecapakan= K).
Sehingga rumusannya adalah:
|
Perkalian di atas memiliki makna bahwa jika seseorang rendah pada salah komponennya maka prestasi kerjanya pasti akan rendah. Dengan kata lain apabila performance kerja (prestasi kerja) seseorang rendah, maka ini dapat merupakan hasil dari motivasi yang rendah pula, atau kemampuannya tidak baik, atau hasil kedua komponen (motivasi) dan (kemampuan) yang rendah.
Untuk dapat mengetahui tinggi rendahnya suatu motivasi dari
karyawan Vroom (dalam Berry, 1998) menentukan perkalian ketiga komponen
sebagai berikut:
Expectancy (E = harapan) adalah pengharapan keberhasilan pada
suatu tugas. Instrumentality (I = alat) dan Valence (V =
nilai-nilai) adalah respon terhadap outcome, seperti perasaan positif,
netral dan negatif.
Dengan bekerja maka setiap orang akan merasakan
akibat-akibatnya. Setiap orang memiliki sasaran-sasaran pribadi yang ia
harapkan dapat ia capai sebagai akibat dari prestasi kerja yang ia berikan.
Akibat-akibat ini jelas akan memiliki nilai (valence) yang berbeda-beda bagi
setiap individu, di mana nilainya bisa positif maupun negatif.
Perusahaan sebagai suatu organizational behavior mempunyai
harapan-harapan terhadap produktivitas setiap tenaga kerjanya, misalnya
mengharapkan prestasi kerja yang optimal. Apabila seorang tenaga kerja dapat
berprestasi kerja sesuai dnegan yang diharapkan oleh perusahaan, seberapa jauh
sasaran pribadi karyawan tersebut dapat dipenuhi? Dengan kata lain, sejauh mana
atau sebesar bagaimanakan dapat diharapkan oleh tenaga kerja bahwa prestasinya
akan memberikan akibat-akibat yang diharapkan. Dalam hal ini kemungkinan
tercapainya sasaran-sasaran pribadi satu persatu melalui tercapainya
produktivitas yang diharapkan oleh perusahaan ini, dinamakan oleh Vroom sebagai
instrumentality
Jika misalnya prestasi kerja yang tinggi merupakan outputnya
seseorang tenaga kerja, sejauh mana kemungkinan yang dirasakan oleh tenaga
kerja bahwa tenaga yang akan diberikan dan usaha yang akan dilakukan dapat
membuahkan prestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan dari
dia?
Jika sesorang karyawan memiliki harapan dapat berprestasi
tinggi, dan jika ia menduga bahwa dengan tercapainya prestasi yang tinggi ia
akan merasakan akibat-akibat yang ia harapkan, maka ia akan memiliki motivasi
yang tinggi untuk bekerja. Sebaliknya jika karyawan merasa yakin bahwa ia tidak
dapat mencapai prestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan perusahaan
daripadanya maka ia akan kurang motivasinya untuk bekerja.
Lebih lanjut Berry (1998) menjelaskan bahwa karyawan akan
memiliki motivasi yang tinggi, apabila usaha mereka menghasilkan sesuatu
melebihi dari apa yang diharapkan. Sebaliknya, motivasi akan rendah, apabila
usaha yang dihasilkan kurang dari apa yang diharapkan.
2)
Model Lawler dan Porter
Lawler dan Porter dalam menjelaskan motivasi berdasarkan ketiga
komponen sebagai berikut:
|
Performance merupakan hasil interaksi perkalian dari effort, ability
dan role perception. Effort adalah banyaknya energi yang dikeluarkan
karyawan dalam situasi tertentu. Ability adalah karakteristik individual
seperti intelegensi, manual skill, traits yang merupakan kekuatan
potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya relatif stabil. Sedangkan role
perception adalah kesesuaian antara effort yang dilakukan seseorang dengan
pandangan evaluator atau atasan langsung tentang job requirementnya.
Dalam model Lawler dan Porter diketahui bahwa performance merupakan
hasil interaksi perkalian antara effort (motivasi), ability dan role
perception.
Dengan demikian berdasarkan hasil uraian kedua teori di atas
dapat disimpulkan bahwa pengharapan atas prestasi kerja akan menentukan
motivasi karyawan.
d.
Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori keadilan dari Adam menunjukkan bagaimana upah dapat memotivasi.
Individu dalam dunia kerja akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain.
Apabila terdapat ketidakwajaran akan mempengaruhi tingkat usahanya untuk
bekerja dengan baik. Ia membuat perbandingan sosial dengan orang lain dalam
pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka merasa dibayar wajar atau tidak wajar.
Perasaan ketidakadilan mengakibatkan perubahan kinerja. Menurut Adam, bahwa
keadaan tegangan negatif akan memberikan motivasi untuk melakukan sesuatu dalam
mengoreksinya.
Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar sebagai berikut:
1) Orang berusaha menciptakan dan
mempertahankan suatu kondisi keadilan
2) Jika dirasakan adanya kondisi
ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan ketegangan yang memotivasi orang untuk
menguranginya atau menghilangkannya
3) Makin besar persepsi
ketidakadilannya, makin besar memotivasinya untuk bertindak mengurangi kondisi
ketegangan itu.
4) Orang akan mempersepsikan ketidak
yang tidak menyenangkan (misalnya menerima gaji yang terlalu sedikit) lebih
cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan (misalnya, mendapat gaji yang
terlalu besar)
Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau
tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak
atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh
orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas,
sekantor maupun tempat lain.
Menurut teori ini elemen-elemen dari teori equity ada tiga,
yaitu: input, out comes, comparison person, dan equity – inequity. Input;
yaitu berbagai hal yang dibawa dalam kerja seperti pendidikan, pengalaman,
keterampilan. Input dengan demikian berarti segala sesuatu yang berharga yang
dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan. Output; yaitu
apa yang diperoleh dari kerja seperti gaji, fasilitas, jabatan. Output berarti
segala sesuatu yang berharga , yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari
pekerjaannya. Dan comparison person; orang lain sebagai tempat
pembanding, sebagai contoh, karyawan dengan pendidikan sama, jabatan sama
tetapi gaji yang diterima berbeda.
|
Comparison persons bisa berupa seseorang di perusahaan yang
sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu
lampau.
Individu atau karyawan akan merasa adil atau puas apabila A
= B seimbang. Sedangkan individu akan merasa tidak adil jika A > B, di mana
salah satu untung. Sebagai contoh, sekretaris seorang kepala bagian merasa
bahwa berdasarkan kesibukannya sehari-hari ia bekerja jauh lebih keras (sampai
harus lembur) daripada sekretaris dari kepala bagian lain, sehingga
mengharapkan hasil-keluaran (gaji) yang lebih besar dari rekannya. Ia akan
merasa tidak adil jika ternyata gaji yang ia terima sama besarnya dengan gaji yang
diterima oleh rekannya.
Menurut Howell & Dipboye (dalam Munandar, 2001) jika
terjadi persepsi tentang ketidakadilan, menurut teori keadilan orang akan dapat
melakukan tindakan-tindakan berikut:
1) Bertindak mengubah masukannya,
menambah atau mengurangi upayanya untuk bekerja
2) Bertindak untuk mengubah
hasil-keluarannya, ditingkatkan atau diturunkan
3) Menggeliat/merusak secara kognitif
masukan dan hasil-keluarannya sendiri, mengubah persepsinya tentang
perbandingan masukan dan hasil keluarannya sendiri
4) Bertindak terhadap orang lain untuk
mengubah masukan dan/atau hasil keluarannya
5) Secara fisik meninggalkan situasi,
keluar dari pekerjaan
6) Berhenti membandingkan masukan dan
hasil keluaran dengan orang lain dan mengganti dengan acuan lain atau mencari
orang lain untuk dibandingkan
C. KEPUASAN
KERJA DALAM ORGANISASI
1.
Tinjauan
Teoritis tentang Kepuasan Kerja
Pada
kesempatan ini dikemukan beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian
kepuasan kerja diantaranya apa yang dikemukakan Robbins (2001)
bahwa kepuasan kerja adalah sikap suatu umum terhadap suau pekerjaan seseorang,
selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya
yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Pendapat lain bahwa kepuasaan
kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh para individu sehubungan dengan
jabatan atau pekerjaan mereka (Winardi.1992). juga pendapat Siagian
(1999) bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seorang yang
bersifat positif maupun negatif tentang pekerjaannya. Pendapat lain bahwa
kepuasan kerja yaitu keadaan emosional yang meyenangkan dan yang tidak
menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan
kerja ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya (Handoko.2000).
selain itu pendapat Indrawidjaja (2000) bahwa kepuasan kerja
secara umum menyangkut sika seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut
sikap, maka pengertian kepuasan kerja menyangkut berbagai hal seperti kognisi,
emosi dan kecendrungan perilaku seseorang.
Apa
yang menetukan kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan oleh Robbins (2001)
adalah Pertama Kerja yang secara mental menantang pegawai yang
cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan kesempatan menggunakan ketrampilan
dan kemampuan dalam bekerja. Kedua Gagasan yang pantas pegawai
menginginkan sistem upah/gaji dan kebijakan promosi yang adil, tidak meragukan
dan sesuai degan pengharapan mereka. Ketiga Kondisi kerja yang
mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun
untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Keempat Rekan
sekerja yang mendukung adanya interaksi sosial antara sesama pegawai yang
saling mendukung menghatar meningkatkan kepuasan kerja. Kelima
Jangan lupakan kesesuaian antara kepribadian pekerjaan. Holand dalam Robbins
(2001) mengemukakan bahwa kecocokan yang tinggi antara kepribadian
seorang pegawai dan pengharapan akan menghasilkan individual yang lebih
terpuaskan. Keenam Ada dalam gen bahwa 30 % dari kepuasan
individual dapat dijelaskan oleh keturunan. Hasil riset lainnya megemukakan
bahwa sebagian besar kepuasan beberapa orang diketemukan secara genetis.
Mengenai
Pendapat lain bahwa kepuasaan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh
para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka (Winardi.1992).:Kesatu
Kepuasan dan produktivitas.hakikatnya
Bahwa
seseorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif.Kedua
Kepuasan dan kemangkiran, kepuasan berkolerasi secara negatif dengan
kemangkiran (Ketidakhadiran). Dalam studi bahwa bekerja dengan skor kepuasan
tinggi mempunyai kehadiran yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan
tingkat kepuasan lebih rendah. Ketiga Kepuasan dan tingkat keluar masuknya pegawai/karyawan, kepuasan
yang dihubungkan yang dihubungkan secara negatif dengan keluarnya pegawai namun
korelasi ini lebih kuat daripada kemangkiran. Dalam hubungaN kepuasan keluarnya pegawai adalah tingkat kinerja
pegawai itu.
Selain
itu ada 5 (lima) dimensi yang berkaitan dengan kepuasan kerja (Winardi.1992)
yaitu :
1)
Gaji
dan upah yang diterima ( Jumlah gaji atau
upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut)
2)
Pekerjaan
(Tugas Pekerjaan dianggap menarik dan
memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab).
3)
Peluang
promosi.( Terjadinya peluang untuk mencapai kemajauan dalam jabatan).
4)
Supervisor
(Kemampuan untuk menunjukkan perhatian terhadap para pegawai/karyawan)
5)
Para
rekan sekerja. (dimana rekan sekerja bersikap bersahabat, kompeten, saling
Bantu membantu, dan berkomitmen untuk mencapai misi dan visi organisasi.
Pemahaman
yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud jika analisa tentang
kepuasan kerja dihubungkan dengan prestasi kerja, tingkat kemangkiran,
keinginan pindah, usia pekerja, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi (Siagian.1999).
Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Kesaatu Kepuasan kerja dan preastasi ,
menjadikan kepuasan untuk memacu prestasi kerja yang lebih baik. Kedua Kepuasan
kerja dan kemangkiran artinya bahwa karyawan/ pegawai yang tinggi tingkat
kepuasan kerja akan rendah tingkat
kemangkirannya. Ketiga Kepuasan kerjja dan keinginan pindah, salah satu
penyebab timbulnya keinginan pindah kerja adalah ketidakpuasan pada tempat
bekerja saat ini.Keempat kepuasan kerja dan usia , kecndrungan yang terlihat
bahwa semakin lanjut usia pegawai tingkat kepuasan kerjanya semakin tinggi.
Kelima Kepuasan kerja dan tingkat jabatan , semakin tinggi tingkat kedudukan
seseorang dalam suatu organisasi pada umumnya semakin tingkat kepuasannya cendrung lebih tinggi
pula. KeenamKepuasan kerja dan besar kecilnya organisasi , Jika karena besarnya
organisasi para pegai terbenam dalam masa kerja yang jumlahnya besar sehingga
jati diri dan identitasnya menjadi kabur, karena hanya dikenal nomor pegawainya
saja. Hal tersebut berdampak negatif pada kepuasan kerja.
Dalam
mengelola personalia (kepegawaian) harus senantiasa memonitor kepuasan kerja,
karena hal itu akan mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja,
semangat kerja, keluhan keluhan dan masalah personalia vital lainnya (Handoko.2000).
Oleh
karena itu fungsi personalia mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak
langsung, selain itu berbagai kebijakan dalam kegiatan personalia berdampak
pada iklim organisasi memberikan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan bagi anggota organisasi itu yang akhirnya
memenuhi kepuasan kerja anggota organisasi (pegawai) untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 3.
Gambar
3
Pengaruh
Fungsi Personalia pada Kepuasan Kerja
(Handoko.2001)
Hubungan
kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan Handoko (2001) yaitu :
a.
Prestasi,
kepuasan kerja yang lebihtinggi terutama yang dihasilkan oleh prestasi kerja,
bukan sebaliknya. Seperti ditunjukkan dalam gambar 4, bahwa prestasi kerja
lebih baik menaakibatkan penghargaan
yang lebih tinggi, jika penghargaan dirasakan adil dan memadai maka
kepuasan pegawai /karyawan akan meningkat.sebaliknya jika penghargaan dipandang
tidak mencukupi untuk suatu tingkat prestasi kerja pegawai/karyawanmaka
ketidakpuasan kerja cendrung terjadi.kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja selanjutnya menjadi umpan balik (feed
back) yang akan mempengaruhi prestasi
kerja di waktu mendatang. Oleh karena itu hubungan prestasi dan kepuasan kerja
menjadi suatu sistem yang berkelanjutan.
Gambar 4
Hubungan antara Prestasi dan Kepuasan Kerja (Handoko.2001)
b. Perputaran
pegawai dengan absensi.Perusahaan atu organisasi senantiasa mengharapkan
kepuasan kerja meningkat perputaran karyawan dan absensi menurun bukan sebaliknya.Sebagaimana
dapat dilihat dalam gambar 5:
bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah baisanya akan mengakibatkan perputaran
karyawan /pegawai lebih tinggi.Yang bersangkutan lebih mudah meninggalkan
perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan lainnya. Hubungan ini berlaku juga
untik absensi (Kemangkiran). Para karyawan yang kurang memperoleh keouasan
kerja akan cendrung lebih sering absent.
Gambar
5 Model Umum Hubungan
Antara Kepuasan Kerja
Dengan
Perputaran Pegawai dan Absensi
(Handoko.2001)
c. Umur
dan jenjang pekerjaan, bahwa semakin tua umur karyawan/pegawai mereka cenrung
lebih terpuaskan dengan pekerjaan-pekerjaannya. Dengan alasan seperti: Pengharapan
yang lebih rendah dan penyesuaian lebih baik terhadap situasi kerja dan lebih
berpengalaman. Sedangkan pegawai/karyawan yang lebih muda cendrung kurang
terpuaskan karena berbagai harapan yang lebih tinggi kurang penyesuian dan
alasan lainnya. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam gambar 6.
Gambar
6 Model Umum Hubungan
Antara Kepuasan Kerja Dengan
Umur & Jenjang Pekerjaan
(Handoko.2001)
Dari gambar diatas menunjukan juga bahwa
orang dengan jenjang pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih mendapatkan
kepuasan kerja, misalnya pegawai yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan tinggi
cenderung memperoleh kepuasan kerja lebih besar dari pada yang tidak
berkemampuan dan tidak terampil.
d. Besar
organisasi, bahwa ukuran organisasi cedrung mempunyai hubungan berlawanandengan
kepuasan kerja yaitu semakin besarorganisasi kepuasan kerja cenrung turun
secara moderat kecuali manajemen mengambil tindakan korektif. Tanpa tindsakan
korektif organisasi besar tersebut akan
menenggelamkan anggotanya dan berbagai proses seperti halnya
partisipasi, komunikasi dan koordinasi kurang
lancer. Oleh
karena terdapat adanya hubungan antara besarnya organisasi dan kepuasan kerja
maka fungsi personalia dalam organisasi besar kemungkinan menghadapi kesulirtan
dalam mempertahankan kepuasan kerja pegawainya/anggotanya.
Pendapat Siagian dan Handoko tersebut kiranya
adanya kesamaan yang berkaitan dengan kepuasan kerja berhubungan dengan
Prestasi, Usia, Mutasi Pegawai dan Absensi, Tingkat Jabatan serta besar
kecilnya organisasi.
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang
dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan kerja (Indrawijaya.2000) yaitu
:
- Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian
- Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang cukup
- Pekerjaan yang menyediakan informasi yang cukup lengkap
- Pimpinan yang lebih banyak mendorong tercapainya suatu hasil yang tidak terlalu banyak atau ketat melakukan pengawasan.
- Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang cukup memadai.
- Pekerjaan yang memberikan tantangan untuk lebig mengembangkan diri.
- Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan ketenangan.
- Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.
Kepuasan kerja
berkaitan pula dengan teori motivasi salah satunya yang dikemukakan oleh Herzberg
dalam Hicks dan Guliet (1996) yaitu teori motivasi hygiene, teori
motivasi/pemeliharaan dan teori kedua faktor merupakan teori motivasi eksternal,
karena manajer mengendalikan faktor yang menghasilkan kepuasaan atau
ketidakpuasan pekerjaan. Dari penelitian Herzberg bahwa faktor hygiene yang
mempengaruhi ketidakpuasan kerja dan para motivator yang mempengaruhi kepuasan
kerja seperti halnya faktor hygiene membantu individu dalam menghindarkan
individu merasa senang dengan ekerjaannya. Sedangkan faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan tidak secara langsung akan menimbulkan kepuasan kerja (Indrawijaya.2000).
Selain kepuasan
kerja para pegawai atau anggota organisasi dapat menyatakan ketidakpuasan
dengan sejumlah cara misalnya mengeluh, tidak patuh dan mengelak dari tanggung
jawab. Ada 4 (empat) respon dari ketidakpuasan baik yang konstruktif/destruktif
maupun aktif/pasip (Robbins.2001) yaitu :
- Eksit, Ketidakpuasan yang diungkapkan melalui prilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi( Mencari formasi baru atau berhenti ).
- Suara, Ketidakpuasan yang diungkapkan dengan usaha aktif dan kontruktifmencoba memperbaiki kondisi organisasi ( mencakup saran perbaikan, membahas masalah dengan atasan dan beberapa bentuk kegiatan )
- Kesetiaan Ketidakpuasan yang diungkapkan secara pasif, menunggu membaiknya kondisi organisasi (berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang tepat).
- Pengabaian, ketidakpuasan yang dinyatakan dengan membiarkan kondisi memburuk (termasuk kemangkiran atau dating terlambatsecara kronis, upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang meningkat).
Keempat respon itu digabarkan
sebagaimana pada gambar 7.
Gambar 7
Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja (Robbins.2001)
2.
Relevansi
Kepuasan Kerja dalam Organisasi Pendidikan.
Organisasi
pendidikan sebagai institusi penyelenggara pendidikan mengharapkan suatu
outcome pendidikan yang memuaskan yang meliputi antara lain :
§ Pemerataan
Pendidikan
§ Kualitas
Pendidikan
§ Relevansi
Pendidikan
§ Efisiensi
Pendidikan
§ Efektivitas
Pendidikan
Organisasi
penyelenggara pendidikan sudah barang tentu melibatkan masyarakat, pemerintah
dan orang tua di dalam memperoleh outcome atau produktivitas pendidikan
sbagaimana tersebut diatas. Hal ini apabila outcome tersebut diperoleh dengan
memuaskan maka yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan akan timbul
kepuasan. Khusus bagi ketenagaan pendidikan dan non ketenagaan kependidikan
(birokrasi pendidikan) merupakan suatu kepuasan kerja yang positif dan
sebaliknya apabila outcome tersebut diperoleh kurang memuaskan maka akan
timbul ketidakpuasan.
Kepuasan kerja dan
ketidakpuasan dalam penyelenggaraan pendidikan akan menimbulkan perilaku
individu dalam organisasi. Yang
merupakan interaksi dari karakteristik individu dan karakteristik organisasi
pendidikan. Dengan perkataan lain kepuasan harus menjadi tujuan utama
organisasi setelahnya produktivitas atau outcome pendidikan.
Selaras
dengan era Otonomi Daerah (Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999) maka bergulir
pula era Otonomi Pendidikan (desentralisasi) yang sudah barang tentu merubah
paradigma pendidikan lama ke paradigma pendidikan baru yang meliputi berbagai
aspek sebagai berikut (Jalal dan Supriadi.2001) :
Paradigma Lama
|
Paradigma Baru
|
·
Sentralistik
·
Kebijakan yang top
down
·
Orientasi pengembangan parsial pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi,
stabilitas politik dan teknologi perakitan
·
Peran serta
pemerintah sangat dominan
·
Lemahnya peran instusi non sekolah
|
·
Desentralistik
·
Kebijakan yang bottom
up
·
Orientasi
pengembangan holistik pendidikan untuk mengembangkan kesadaran untuk bersatu
dalam kemajemukan budaya menjunjung tinggi moral, kemanusiaan dan agama,
kesadaran kreatif, produktif, kesadaran hukum.
·
Meningkatkan peran
serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.
·
Pemberdayaan institusi
masyarakat, keluarga, LSM, pesantren dan dunia usaha
|
Demikian pula peneraan
konsep manajeen berbasis sekolah (school based management) yang selaras
dengan otonomi pendidikan merupakan kegiatan (action) dalam rangka memperoleh outcome
seperti halnya kualitas pendidikan. Dengan diperolehnya kualitas pendidikan
maka kepuasan yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan akan
merasakan pula. Apabila dengan penerapan program life skill dengan
pendekatan Brood Based education (BBE). Selain masih menuntaskan program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
BAB III
KESIMPULAN
Salah satu aspek dalam meningkatkan
kinerja karyawan ialah pemberian motivasi (daya perangsang) kepada karyawan,
dengan istilah populer sekarang pemberian kegairahan bekerja kepada karyawan.
Telah dibatasi bahwa memanfaatkan karyawan yang memberi manfaat kepada
perusahaan. Ini juga berarti bahwa setiap karyawan yang memberi kemungkinan
bermanfaat ke dalam perusahaan, diusahakan oleh pimimpin agar kemungkinan itu
menjadi kenyataan. Usaha untuk merealisasi kemungkinan tersebut ialah dengan
jalan memberikan motivasi. Motivasi ini dimaksudkan untuk memberikan daya
perangsang kepada karyawan yang bersangkutan agar karyawan tersebut bekerja
dengan segala daya dan upayanya (Manulang , 2002).
Bahwa kepuasan kerja
merupakan suatu cara pandang seseorang yang bersifat positif maupun negatif
tentang pekerjaannya. Yang sudah barang tentu akan mempengaruhi perilaku
organisasi, termasuk ketidakpuasan kerja
Bahwa kepuasan nerja
berkaitan dengan organisasi pendidikan akan terlihat dari outcome atau
produktivitas pendidikan yang diperoleh memuaskan atau tidak memuaskan sehingga
sudah barang tentu akan mempengaruhi juga perilaku organisasi pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, S
& Suyati, S.1995. Psikologi Industri dan Sosial. Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya.
As’ad, M. 2004.
Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Edisi Ke-empat
Berry, M.L.
1998. Psychology at Work: an Introduction to Industri and Organizational
Psychology. McGraw-Hill Book Co. Boston.
Jewell &
Siegall. 1998. Contemporary Industrial/Organizational Psychology. Dialih
Bahasakan oleh Danuyasa. Psikologi Industri/Organisasi Modern; Psikologi
Terapan untuk Mememecahkan Berbagai masalah di tempat Kerja, Perusahaan,
Industri, dan Organisasi.
Kreitner &
Kinicki. 2004. Organizational Behavior. 6-th ed. Mc. Graw-Hill
Companies, Inc.
Luthans, F.
1992. Organizational Behavior. 6-th ed. Mc. Graw-Hill International Book
Co-Singapore.
Hick, Herbert G dan
Gullet GR (1996), Organisasi Teori dan Tingka Laku. Jakarta, Bumi Aksara
Munandar, A. S.
2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.
Indrawijaya, Adam (2000),
Perilaku Organisasi. Bandung, Sinar Baru Algesindo
Robbins, Stephen P
(1994), Teori Organisasi Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta, Arcen
Syarief, Miftah (2000), Desentralisasi
Pendidikan dan Otonomi Daerah, Jakarta, Sekretariat Jenderal Depdiknas
Thoha, Miftah (1998), Perilaku
Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada
Tilaar (1999), Manajemen
Pendidikan Nasional. Bandung, PT.Remaja Rosda Karya
Winardi (1992), Manajemen
Perilaku Organisasi. Bandung, PT.Citra Aditya Bakti
Sangat membantu, terimakasih :)
BalasHapusterima kasih sudah menambah pengetahuan saya. :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusthanks, helpfully
BalasHapusthanks, helpfully
BalasHapus