BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Komunikasi verbal
biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang
dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon
emosional, atau menguraikan obyek observasi dan ingatan. Sering juga untuk
menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan
komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk
berespon secara langsung. Komunikasi merupakan faktor penting bagi pencapaian tujuan
suatu organisasi bisnis. Seorang pimpinan secara rutin harus berkomunikasi
dengan bawahannya untuk meminta mereka membuat surat pesanan, barang, menjawab
atau membuat surat aduan, membuat surat balasan atau tanggapan , dan
sejenisnya.
Komunikasi
verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan kepada pihak
lain melalui tulisan (written) maupun lisan (oral). Meskipun seseorang dapat
mengungkapkan sesuatu secara nonverbal (tidak melalui tulisan atau lisan), ia
tetap membutuhkan komunikasi verbal, misalnya bila hendak membahas kejadian
masa lalu, ide atau abstraksi. Hal-hal tersebut tidak dapat diungkapkan secara
sempurna dengan komunikasi nonverbal, tetapi dapat diungkapkan lewat kata-kata
yang disusun dalam suatu pola yang berarti, baik dalam bentuk tulisan maupun
lisan (pidato).
Melalui
komunikasi lisan atau tulisan, diharapkan orang akan memahami apa yang
disampaikan pembicara atau penulis. Penyampaian suatu pesan lewat tulisan dan
lisan tentu memiliki suatu harapan bahwa seseorang akan dapat membaca atau
mendengar apa yang akan dikatakan. Untuk pesan-pesan, seseorang dapat
menggunakan pendengaran dan bacaan.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
asal usul terjadinya bahasa?
2. Apa
fungsi bahasa dalam kehidupan manusia?
3. Apa
yang dimaksud dengan bahasa verbal?
4. Apa
yang dimaksud dengan keterbatasan bahasa?
5. Apa
yang dimaksud dengan kerumitan makna?
6. Mengapa
nama dapat dijadikan sebagai simbol?
7. Apa
yang dimaksud dengan bahasa gaul?
8. Apa
yang dimaksud dengan ragam bahasa inggris?
9. Apa
yang dimaksud dengan pengalihan bahasa?
10. Apa
yang dimaksud dengan komunikasi konteks rendah vs komunikasi konteks tinggi?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
berdasarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bagaimana asal usul terjadinya bahasa.
2. Untuk
mengetahui fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.
3. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan bahasa verbal.
4. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan keterbatasan bahasa.
5. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan kerumitan makna.
6. Untuk
mengetahui mengapa nama dapat dijadikan sebagai simbol.
7. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan bahasa gaul.
8. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan ragam bahasa inggris.
9. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan pengalihan bahasa.
10. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan komunikasi konteks rendah vs komunikasi
konteks tinggi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal
Usul Bahasa
Hingga kini belum ada
suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul di
permukaan bumi. Ada dugaan kuat bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal.
Teoretikus kontemporer mengatakan bahwa bahasa adalah ekstensi perilaku sosial
. Lebih dari itu, bahasa ucap bergantung pada perkembangan kemampuan untuk
menempatkan lidah secara tepat di berbagi lokasi dalam sistem milik manusia
yang memungkinkannya membuat berbagai suara kontras yang diperlukan untuk
menghasilkan ucapan. Kemampuan ini mungkin berhubungan dengan kemampuan manusia
lebih awal untuk mengartikulasikan isyarat-isyarat jari-jemari dan tangan yang
memudahkan komunikasi noverbal. Konon, hewan primata (kera, monyet, gorila dan
sejenisnya) berevolusi sejak kira-kira 70 juta tahun lalu, dimulai dengan hewan
mirip tikus kecil yang hidup sejaman dengan dinosaurus.
Dulu,
nenek moyang kita yang juga disebut Cro
Magnon ini tinggal di gua-gua. Mereka mempunyai sosok seperti kita, hanya
saja lebih berotot dan lebih tegap, mungkin karena hidup mereka peuh semangat
dan makan makanan yang lebih sehat. Mereka adalah pemburu dan pengumpul makanan
yang berhasil. Ketika mereka belum mapu berbahasa verbal, mereka berkomunikasi
dengan gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, cadas dan dinding gua yang
banyak ditemukan di Spanyol dan Perancis Selatan. Mereka menggambarkan bison,
rusa kutub dan mamalia lainnya yang mereka buru. Inilah sarana pertama yang
dikenal manusia untuk merekan informasi.
Dalam
tahap perkembangan berikutnya, antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa
lisan. Ini mungkin karena mereka punya struktur tengkorak, lidah dan kotak
suara yang mirip dengan yang kita miliki sekarang. Kelebihan homo sapiens dari makhluk sebelumnya
adalah kemampuan mereka untuk mengembangkan salah satu jenis tanda yang disebut
dengan simbol atau lambang. Sedangkan makhluk hidup sebelumnya lebih
mengandalkan ikon, sinyal atau indeks dalam komunikasi mereka. Kemampuan
berbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini, tidak seperti
makhluk mirip manusia sebelumnya yang musnah. Karena Cro Magnon dapat berpikir lewat bahasa, mereka mampu membuat
rencana, konsep, berburu dengan cara yang keras dan cuaca yang buruk. Mereka
juga dapat mengawetkan makanan.
Sekitar
10.000 tahun Sebelum Masehi mereka menemukan cara-cara bertani demi
kelangsunagn hidup mereka. Pendek kata, homo
sapiens semakin makmur dari abad ke abad, karena mereka memiliki banyak
pengetahuan untuk bertahan hidup dan mengembangan budaya mereka, yang kemudian
mereka wariskan kepada generasi berikutnya. Mereka tidak hanya menggarap tanah
dan beternak tetapi juga mengembangkan teknologi termasuk penggunaan logam,
anyaman. Roda, kereta dan barang tembikar. Mereka juga punya waktu untuk
bersenang-senang, membuat inovasi dan berkontemplasi. Namun mereka belum dapat
menulis. Sementara itu, bahasa pun semakin beraneka ragam. Cara bicara baru
berkembang ketika orang-orang menyebar ke kawasan-kawasan baru tempat mereka
menemukan dan mengatasi problem-problem baru. Bahasa-bahasa lama pun terus
berevolusi dari generasi ke generasi.
Sekitar
5000 tahun lalu manusia melakukan transisi komunikasi dengan memasuki era
tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Transisi paling dini
dilakukan bangsa Sumeria dan bagsa Mesir kuno, lalu juga bangsa Maya dan bangsa
Cina yang mengembangkan sistem tulisan mereka secara independen. Tahun 2000
Sebelum Masehi, papirus digunakan secara luas di Mesir untuk menyampaikan pesan
tertulis dan merekam informasi. Penyebaran sistem tulisan itu akhirnya sampai
juga ke Yunani. Bangsa Yunanilah yabg kemudian menyempurnakan dan
menyederhanakan sistem tulisan ini. Menjelang kira-kira 500 Sebelum Masehi,
mereka telah menggunakan alfabet ini secara luas. Akhirnya alfabet Yunani itu
diteruskan ke Roma tempat sistem tulisan itu disempurnakan lagi. Sistem tulisan
dan bahasa lisan itu terus berkembang hingga kini. Kita pun memasuki era pada
abad ke 15, yang beberapa abad kemudian disusul oleh era radio, era televisi
dan kini era komputer. Kesemuanya merekam hasil peradaban manusia untuk
disempurnakan lagi oleh generasi-generasi mendatang lewat kemampuan mereka
dalam berbahasa.
B.
Fungsi
Bahasa Dalam Kehidupan Manusia
Fungsi
bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek dan
peristiwa. Setiap orang punya nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat
menamai apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan tertentu yang
mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa dan pada
awalnya itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang lalu menjadi konvensi. Mengapa
mataharidisebut matahari? Karena ia disebut matahari! Adalah keliru menganggap
sesuatu itu mempunyai hanya satu nama yang benar. Benda yang kita terima dari
tukang pos kita sebut surat. Ketika isinya kita ketahui menawarkan barang atau
jasa kita sebut iklan. Karena kita tidak tertarik pada penawaran itu, benda itu
kita buang ke keranjang sampah. Bagaimana kita menjuluki Emha Ainun Najib?
Budayawan, cendekiawan, seniman, pelukis, kolumnis, kiai, penyanyi atau
pelawak? Salah satu menjawabnya :
Bergantung pada apa yang sedang ia lakukan
saat itu. Bila ia sedang berceramah agama, ia kiai. Bila iamsedang
menulis buku, artikel atau kolom ia penulis dan bila ia penulis dan bila ia
sedang menyanyi dengan iringan kelompok musiknya ia penyanyi. Suatu objek
mempunyai beberapa tingkat abstraksi. Ibu kita adalah ibu, ibu adalah wanita,
wanita adalah manusia, manusia adalah makhluk hidup dan makhluk hidup adalah
ciptaan Tuhan. Semakin luas kelasnya, semakin abstrak konsep tersebut.
Sepanjang hidup kita sebenarnya belajar mengabstraksikan segala sesuatu.
Menurut
Larry L.Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: Penamaan (naming atau labelling),
interaksi dan transmisi informasi.[1]
Penamaan atau penjulukan merujuk
pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya
sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi, menurut Barker, menekankan berbagai gagasan dan emosi,
yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
Melalui bahasa, informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga Anda tidur
kembali, dari orang lain, baik secara langsung atau tidak (melalui media massa
misalnya). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi informasi yang
lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan, memungkinkan
kesinambungan budaya dan tradisi kita . Tanpa bahasa kita tidak mungkin
bertukar informasi; kita tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat
untuk kita rujuk dalam komunikasi kita.
Dalam
pada itu, Cansandra
L. Book (1980), dalam Human Communication: Principles, Contexts, and Skills,
mengemukakan
agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi,
yaitu: untuk mengenal dunia kita; berhubungan dengan orang lain; dan untuk
menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Fungsi pertama bahasa ini jelas
tidak terelakan. Melalui bahasa Anda mempelajari apa saja yang menarik minat
Anda, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu yang tidak
penah Anda temui, seperti bangsa Mesir kuno atau bangsa Yunani. Kita dapat
berbagi pengalaman, bukan hanya
peristiwa masa lalu yang kita alami sendiri, tetapi juga pengetahuan tentang
masa lalu yang kita peroleh melalui sumber kedua, seperti media cetak atau
media elektronik. Kita juga menggunakan bahasa untuk memperoleh dukungan atau
persetujuan dari orang lain atas pengalaman kita atau pendapat kita. Melalui
bahasa pula Anda memperkirakan apa yang akan dikatakan atau dilakukan seorang
kawan Anda, seperti dalam kalimat “ Kemarin kawan saya itu begitu marah kepada
saya”. Meskipun gambaran kita mengenai masa depan tidak terlalu akurat,
setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan, membicarakan dan mengantisipasi
masa depan, misalnya apa yang akan terjadi terhadap manusia dan alam semestaa
berdasarkan dugaan yang dikemukakan oleh para ahli ilmu pengetahuan dan orang
bijak lainnya, juga berdasarkan wahyu Tuhan atau sabda Nabi.
Fungsi
kedua bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain,
sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi sosial dan instrumental. Ringkasnya,
bahasa memungkinkan kita bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita dan
mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat
mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang sekitar kita. Seorang
nyonya rumah dapat memerintahkan, “Tolong bawakan minuman buat saya” kepada
pelayannya. Seorang kandidat dari sebuah partai politik dapat menyampaikan
gagasannya, namun sekaligus juga membujuk rakyat untuk memilih partainya dan
mempertimbangkan dirinya sebagai calon presiden yang potensial. Kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain bergantung tidak hanya pada bahasa yang sama,
namun juga pengalaman yang sama dan makna yang sama yang kita berikan kepada
kata-kita. Semakin jauh perbedaan antara bahasa yang kita gunakan dengan bahasa
mitra komunikasi kita, semakin sulit bagi kita untuk mencapai saling
pengertian. Meskipun orang Indonesia dan orang Malaysia berbicara bahasa
Melayu, atau orang Amerika dan orang Inggris berbicara bahasa Inggris, mereka
belum tentu mencapai kesepahaman, karena beberapa perbedaan yang ada dalam
kedua bahsa tersebut.
Sedangkan
fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami
mengenai diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita. Kita
tidak mungkin menjelaskan semua itu dengan menyusun kata-kata secara acak,
melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah kita sepakati bersama.
Akan tetapi, kita tidak sebenarnya tidak dapat selamanya dapat memenuhi ketiga
fungsi bahasa tersebut, oleh karena itu, meskipunbahsa merupakan sarana
komunikasi dengan manusia lain, saran ini secara inheren mengandung kendala,
karean sifatnya yang cair dan keterbatasannya. Seperti dikatakan S.I Hayakawa,
“Kata itu bukan objek.” Bila orang-orang memaknai suatu kata secara berbeda,
maka akan timbul kesalahpahaman di antara mereka.
C.
Komunikasi
Verbal
Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy
Mulyana, 2005). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan
aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan
dipahami suatu komunitas.
Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara
fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang
dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama,
karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara
anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa
diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut
peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata
harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.[2]
Verbal adalah pernyataan lisan antara manusia lewat
kata-klata dan symbol umum yang sudah disepakati antar individu kelompok,
bangsa dan Negara. Jadi, definisi komunikasi verbal; dapat disimpulkan bahwa
komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar di
lakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain.
§ Simbol atau pesan verbal adalah
semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Kata-kata adalah
abstraksi realitas individual yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang
merupakan totalitas obyek atau konsep yang diwakili oleh kata-kata itu.
§ Bahasa adalah sistem kode verbal.
Bahasa merupakan seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan
simbol-simbol, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa adalah
sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Fungsi bahasa
yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, obyek dan peristiwa.[3]
Beberapa komponen-komponen komunikasi verbal adalah: Suara, Kata-kata,
Berbicara, dan Bahasa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi verbal:
§ Tekhnik.
Seberapa akurat komunikasi tersebut mengirimkan simbol-simbol
§ Semantik.
Seberapa tepat simbol dalam mengirimkan pesan yang
dimaksud
§ Pengaruh.
Seberapa efektif
arti yang diterima mempengaruhi tingkah laku [4]
Sealin itu, berikut ini beberapa hal yang penting dalam komunikasi verbal
(Ellis & Nowlis-1994):
§ Penggunaan
Bahasa
Perlu
kejelasan, keringkasan, dan kesederhanaan
§ Kecepatan
Kecepatan
akan mempengaruhi komunikasi verbal
§ Voice
Tone
Menunjukkan
gaya dari ekspresi yang digunakan dalam bicara dan dapat merubah arti dari kata [5]
D.
Keterbatasan
Bahasa
Keterbatasan bahasa adalah adanya
perbedaan arti atas penamaan atas hambatan lain saat anda sedang melakukan
komunikasi.[6]
Berbicara tentang
komunikasi verbal, yang porsinya hanya 35 % dari keseluruhan komunikasi kita,
banyak orang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa
tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut:
1. Keterbatasan jumlah kata yang
tersedia untuk mewakili objek
Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk
pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan dan sebagainya,
tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili
realitas tetapi bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada
dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak. Oleh karena
itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu objek. Misalkan, nama apa yang harus
kita berikan pada sebuah benda yang bentuknya mirip pintu, tetapi berukuran
kecil, misalnya 50cm x 20cm: pintu, pintu kecil, jendela, jendela kecil, lubang
angin atau apa? Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung dikotomis (oposisi
biner), misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, bahagia-sengsara,
tebal-tipis dan sebagainya. Agar realitas yang kita ungkapkan lebih tepat, kita
terkadang menggunakan kata penguat sangat
atau sekali seperti dalam
kalimat, “Aduh, pintar sekali orangnya,” atau kata pelemah kurang atau agak, seperti
dalam kalimat,”Dia sih mahasiswa yang kurang pandai .” akan tetapi
kategori-kategori ini tetap saja masih terbatas, tidak mungkin diterapkan
kepada setiap orang, benda atau peristiwa yang kita temui.
Kesulitan menggunakan
kata yang tepat juga kita alami ketika kita ingin mengungkapkan perasaan. Pesan
verbal biasanya lebih lazim kita gunakan untuk menerangkan sesuatu yang
bersifat faktual-deskriptif-rasional. Akan tetapi, untuk mengungkapkan sesuatu
yang sangan afektif dan pribadi, kita biasanya lebih mengandalkan pesan
nonverbal. Perasaan sayang seorang suami terhadap istrinya akan lebih bermakna
bila diungkapkan dengan senyuman, atau sentuhan dari pada dengan kata-kata
semata.
Keterbatasan jumlah
kategori untuk menamai objek sebenarnya berfungsi untuk mengendalikan
lingkungan kita, dan memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
berbagi pengalaman serta pengetahuan dengan mereka. Bayangkan betapa sulitnya
kita berkomunikasi dengan orang lain kalau kita dibebani dengan kosa kata
tentang warna yang terdiri dari ratusan nama warna apalagi ratusan ribu nama
warna. Akan tetapi, penamaan suatu objek yang bersifat kira-kira itu sebenarnya
sekligus merupakan hambatan bagi kita untuk berkomunikasi. Artinya, selalu ada
perbedaan antara makana dalam kepala kita dengan makna dalam kepala orang lain
, sekecil apapun perbedaan itu.
2. Kata-kata bersifat ambigu dan
kontekstual
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata
mempresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang menganut latar
belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu, terdapat berbagai
kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Konsep dan lain-lain (dll), dan
sebagainya (dsb), dan seterusnya (dst), yang semacamnya, sedemikian rupa,
hingga derajat tertentu kira-kira dan lebih kurang, sebenarnya menunjukkan
bahwa tidak ada pernyataan yang dapat mewakili dunia nyata. Meskipun terdapat
pengetahuan yang komprehensif mengenai suatu subjek, akan selalu ada hal lain
atau hal baru untuk dipertimbangkan. Juga suatu gagasan dalam tanda petik
(“...”) menunjukkan bahwa gagasan tersebut masih diragukan, atau tidak dianggap
kebenaran mutlak. Kata-kata, selalu,
sering, setiap orang, semua orang, dan dengan teratur, sebenarnya bersifat
ambigu. Kata berat mempunyai makna
yang nuansanya beraneka ragam, misalnya : Tubuh orang itu berat ; kepala saya berat
; dosen itu memberikan sanksi yang berat
kepada mahasiswanya yang menyontek; dan sebagainya. Begitu juga kata panas,
seperti dalam kalimat atau frase, “ Hari ini panas,” Kopi panas,” “Adik
sakit panas,” dan sebagainya. Bahkan
kata besar pun juga ambigu, seperti dalam dialog yang berasal dari kehidupan
nyata berikut.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menggunakan
kata-kata ambigu, termasuk eufemisme, seperti “Mari kita menyantap makanan laut
“ketimbang” Mari kita menyantap makan ikan mati. Kata yang sama mungkin
memiliki makna berbeda bagi orang-orang berbeda dan makna berbeda bagi orang
yang sama dalam waktu berbeda. Suatu kata yang sama mungkin tidak tepat atau
memberi makna aneh dan aneh dan lucu bila digunakan dalam konteks (kalimat)
lain dengan pelaku yang berbeda, misalnya seperti dalam dialog berikut :
+
“Pak, apa kabar?”
- “Aduh,
(badan) saya lagi nggak enak, nih”
+
“ Ibu, bagaimana?”
-
“
Kalau ibu sih enak.”
Oleh karena kata-kata bersifat
kontesktual, terkadang kita sulit mencari padanan suatu kata dalam bahasa lain.
Contohnya, kata amis dalam bahasa
Sunda berarti “manis” dalam bahasa Indonesia, namun manis disana merujuk pada
manis menurut lidah, bukan manis menurut pandangan mata. Jadi tidaklah benar
bila orang non-Sunda mengatakan, “
Ceweknya amis euy!” Dalam bahasa Sunda kata hareudang berarti “panas” (lebih tepatnya “gerah”). Jadi keliru
bila orang non-Sunda mengatakan, “ Pisang
gorengnya hareudang” (“Pisang gorengnya gerah”). Terjemahan kata “rumah”
adalah house atau home dalam bahasa Inggris, bergantung
pada konteksnya. House hanya sekedar benda, misalnya untuk dijual, seperti
dalam kalimat the house is for sale,
sedangkan home menunjukan rumah dan
keluarga yang mengisinya (yang saling berhubungan dan menyayangi) seperti dalam
kalimat I am going home.
Ruang dan waktu mengubah makna kata.
Menurut Hubert Alexander, makna harus dianggap sebagai proses ketimbang sesuatu
yang statis. Kata-kata baru muncul, sementara kata-kata lama pelan-pelan
menghilang, satu demi satu. Gaya bahasa yang dulu populer kini menjadi klise.
Prinsip bahwa kata-kata bersifat
kontekstual aebenarnya mengisyaratkan bahwa aturan-aturan baku dalam berbahasa
tidaklah mutlak. Misalnya, kata-kata sifat dalam bahasa Indonesia umumnya dapat
dibubuhi awalan ke dan akhiran an, seperti: adil
menjadii keadilan; cantk menjadi kecantikan; jujur menjadi kejujuran’ marah
menjadi kemarahan;pandai menjadi kepandaian. Namun prinsip itu tidak
berlaku untuk kata sifat malu; malu
menjadi rasa malu, bukan kemaluan.
Seorang wanita Swedia mengajak
seorang wanita Yogya untuk berenang, tetapi “Malu” jawab wanita Yogya itu.
Wanita Swedia yang tengah belajar bahasa Indonesia di UGM itu lalu menjawab,
“Datang saja. Nanti kalau sudah beberapa kali kemaluannya akan hilang.” Tentu
saj kemaluannya tidak akan pernah hilang. Percakapan pun menjadi kocak. Wanita
Swedia itu baru mendapat pelajaran tentang penggunaan kata benda dengan
menggunakan awalan “ke” dan akhiran “an”.
3. Kata-kata mengandung bias buadaya
Bahasa
terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang
sebagai perluasan budaya. Menurut Hipotesis Sapir Whorf, sering juga disebut
Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia
simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan
kebutuhan pemakainya untuk berfikir, melihat lingkungan dan alam semesta di
sekitarnya dengan cara yang berbeda dan karenanya berperilaku secara berbeda
pula. Hipotesis yang dikemukakan Benjamin Lee Whorf dan mempopulerkan serta
menegaskan pandangan gurunya Edward Sapir ini menyatakan bahwa (1) Tanpa bahasa
kita tidak dapat berfikir, (2) Bahasa mempengaruhi persepsi; dan (3) Bahasa
mempengaruhi pola berfikir. Hipotesis Sapor-Whorf ini tampaknya sulit diuji.
Sebabnya, pertama, kita sulit mendefinisikan berfikir, kedua, kita lebih sulit
lagi menemukan orang yang tidak berbahasa, sebagai pembandingnya. Dengan kata
lain, kita tidak punya cara menafsirkan realitas tanpa menggunakan bahasa.
Hingga
derajat tertentu, hipotesis Whorf-Sapir ini ada benarnya. Mereka mengasumsikan
bahwa beberapa bahasa tidak mengandung kata-kata untuk objek-objek dalam
bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Arab klasik, konon terdapat lebih dari 6.000
kata untuk melukiskan unta-warnanya, struktur tubuh, jenis kelamin, usia,
gerak, kondisi dan perlengkapannya. Penduduk asli Sahara mempunyai 200 kata
untuk melukiskan kurma, bahan pokok mereka dalam kehidupan dan 20 cara berbeda
untuk melukiskan bukit pasir. Hal ini
juga mengisyaratkan arti penting objek-objek tersebut dalam budaya mereka. Kata
rice dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi tiga kata yang maknanya
berbeda dalam bahasa Indonesia, yakni gabah, beras, dan nasi. Ini menunjukkan
bahwa kita orang Indonesia lebih peduli dari pada orang Inggris.
Tingkatan-tingkatan
bahasa dalam Jawa (kromo versus Ngoko misalnya) dan dalam bahasa Sunda
menunjukkan alam pikiran (baca: status
sosial) yang berbeda pula bagi piha-pihak yang mengunakan bahasa tersebut.
Sebagai contoh dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama,
yaitu: abdi, kuring, uing, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk orang
kedua adalah: andika, anjeun, maneh, silaing dan sia. Kata makan dapat
diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Neda,
untuk
diri sendiri
Tuang, untuk orang yang kita hormati
Dahar, untuk teman sebaya yang sudah
akrab atau bawahan/pembantu
Nyatu, untuk
hewan
Emam, untuk anak kecil
4. Percampuradukkan fakta, penafsiran,
dan penilaian
Dalam berbahasa kita sering
mencampur adukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian. Masalah
ini berkaitan dengan kekeliruan persepsi, misalnya apa yang tergambar dalam
benak kita ketikapada hari kerja kita menemukan seorang pegawai di suatu
perusahaan swasta sedang menutup wajahnya dengan selembar koran, dengan posisi
duduk menyandar ke belakan. Kemungkinan besar kita akan langsung memberi
penafsiran, misalnya “orang itu pemalas.” Padahal kalau kita tegur dia dengan
tiba-tiba atau kita marahi dia, bukan tidak mungkin dia menjawab, “Saya sedang
memikirkan suatu gagasan yang hebat bagaimana memajukan perusahaan kita. Saking
kerasnya saya berfikir, saya sampai memejamkan mata dan menutup wajah saya
dengan koran.”
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering mencampuradukkan fakta dan dugaan. Banyak peristiwa
yang kita anggap sebenarnya merupakan dugaan yang berdasarkan kemungkinan, misalnya,
“Ani bingung (atau sedih, ngambek, bahagia).” Kebanyakan orang menganggap “Ani
bingung” sebagai pernyataan fakta. Kalao kita Tanya penbicara, “Bagaiman kamu
tahu?” ia mungkin akan menjawabnys, “Saya kan melihatnya!” Jawaban yang lebih
akurat adalah: “Wajahnya merah ketika saya katakana padanya bahwa Joko memperoleh nilai lebih tinggi
daripada dia.” Jawaban itu lebih factual karena menguraikan perilaku yang
mendasari dugaan Anda mengenai kemarahan Ani. Komunikasi kita akan lebih
efektif kalau kita memisahkan pernyataan fakta dengan dugaan.
Bahasa dapat dipandang sebagai perluasan bahasa. Menurut
hipotesis Sapir Whorf disebut teori relativitas linguistic untuk menegaskan hal
tersebut, sang murid, Edward Sapir Whorf mengatakan bahwa:
§ Bahasa membuat kita berpikir
§ Bahasa mempengaruhi persepsi
§ Bahasa mempengaruhi pola berpikir
E.
Kerumitan
Makna Kata
Sering kita bertanya,
“Apa arti kata itu?” Kita menganggap bahwa arti atau makna dikandung disetiap
kata yang kita ucapkan. Sebenarnya kita keliru bila kita menganggap bahwa
kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang member makna pada kata, dan makna
yang kita berikan kepada kata yang sama bias berbeda-beda tergantung pada
konteks ruang dan waktu. Bahkan, sebelum kita menanyakan makna suatu kata, kita
terlebih dahulu harus menjawab pertanyaan, “Apakah makna dari makna?”
Pertanyaan ini merupakan salah satu masalah besar dalm filsafat. R.
Brown mendefinisikan makan sebagai kecenderungan (disposisi) total
untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.[7]
Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat.
Dengan kata-kata Brown, Seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang
produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak
menyelesaikan tugas itu. Konsep makna itu sendiri memiliki berbagai makna tanpa
ada satu makna pun lebih “benar” dari makna yang lainnya. Seperti kata-kata
lainnya, makna mempunyai beberapa definisi. Salah satu alasan terdapatnya
berbagai makna dari makna adalah masalh lokasi: “Dimana lokasi makna?”
Makna muncul dari
hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak
melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran
orang. Jadi, tidak ada hubungan langsung antara suatu objek dan symbol yang
digunakan untuk merepresentasikannya. Ketika kita mengatakan “Saya sakit
perut,” misalnya, pengalamn itu nyata, tetapi tidak seorangpun dapat merasakan
rasa sakit itu, bahkan dokter yang berusaha mengobati rasa sakit kita. Jadi
hubungan itu diciptakan dalam pikiran si pembicara.
Semantic adalah ilmu
mengenai makna kata-kata, suatu definisi yang menurut S.I Hayakawa tidaklah buruk bila orang-orang tidak menganggap bahwa
pencarian makan kata mulai dan berakhir dengan melihatnya dalam kamus. Makna
dalam kamus tentu saja lebih bersifat kebahasaan (linguistik), yang punya
banyak dimensi: symbol merujuk pada
objek di dunia nyata; pemahaman adalah
perasaan subjektif kita mengenai symbol itu; dan referen adalah objek yang sebenarnya eksis di dunia nyata. Padahal
disamping itu, terdapat pula makna kata yang
bersifat filosofis, psikologis, dan logis.
Makna dapat pula
digolongkan ke dalam: makna denotif dan
makna konotatif. Makna denotatif
adalah makna yang sebenarnya (faktual), seperti yang kita temukan dalam kamus.
Karena itu, makna denotatif lebih bersifat publik. Sejumlah kata bermakna
denotatif, namun banyak juga yang bersifat konotatif, lebih bersifat pribadi
yakni makna di luar rujukan objektifnya. Dengan kata lain, makna konotatif
lebih bersifat subjektif dan emosional daripada makna denotatif.[8]
Kita merasa pramuniaga itu lebih bergengsi daripada pelayanan took, sebagaiman kita merasa tunawisma lebih baik daripada gelandangan. Makna denotative dan makna
konotatif itu menjadi lebih rumit lagi bila kita mempertimbangkan budaya yang
berbeda. Chair dalam bahasa Inggris
berarti kursi yang pada dasarnya denotative bagi orang berbahsa Inggris. Namun
bagi orang Indonesia yang gila jabatan, kata kursi berkonotasi lebih kuat daripada kata chair bagi orang Amerika yang punya kecenderungan yang sama.
Symbol atau lambang
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakan
sekelompok orang. Karena itu makan ada di kepala bukan pada lambing, tetapi
kita sering merespon suatu kata seakan-akan kata adalah objek yang diwakili
kata tersebut. Misalnya, tiba-tiba kita merasa takut ketika mendengar kata kalajengking, ular, atau harimau. Dalam komunikasi, harus
realistik dan memperhatikan bagaimana symbol mempengaruhi perilakualih-alih
membuang waktu bagaimana menjinakkan kekuatan kata-kata. Betapapun, jika
kata-kata tidak membawa makna kepada kita dan jika kita tidak bereaksi terhadap
kata-kata, kata-kata itu tidak berguna, symbol mempunyai impale motif karena
symbol dipasangkan dengan referen.
Kata-kata tidak
bermakna dengan sendirinya, melainkan bila kita memaknai kata tersebut.
Kata-kata bukanlah objek yang diwakilinya, jadi ketika kita berbicara dengan
orang lain, kita hanya menyampaikan kata-kata bukan makna. Kata-kata merangsang
makna yang dianut orang lain terhadap kata-kata itu. Pembicaraan akan berjalan
lancar bila makan yang kita berikan terhadap kata-kata mirip dengan makna yang
diberikan orang lain terhadap kata-kata yang sama. Pada kenyataanya tidak selau
demikian, boleh jadi suatu kata yang sama merujuk pada objek yang berbeda, atau
kata-kata yang berbeda merujuk pada objek yang sama di dua daerah yang berbeda.
Kata taksi yang di Jakarta atau Bandung biasanya berarti sedan sewaan, adalah
sebutan untuk angkot (angkutan kota)
di beberapa daerah lain di Indonesia seperti di Kuningan, Tasikmalaya,
Palembang, Pontianak, Bengkulu, dan Papua. Sedangkan di Mataram, Lombok,
Denpasar, dan di Kupang (NTT) kata bemo
digunakan untuk merujuk pada angkot beroda empat ini. Di Jakarta, Bekasi dan
Kediri angkot ini disebut mikrolet sedangkan
di Banda Aceh disebut labi-labi.
Banyak teoritikus
bahasa mengemukakan bahwa kebanyakan kata mempunyai makan majemuk. Setiap kata
dari kata-kata seperti: merah, kuning,
hitam dan putih mempunyai makna
(konotatif) yang berlainan. Sebagai ilustrasi, 500 kata dalam bahasa Inggris
paling sering digunakan memiliki setidaknya 14.000 definisi yang berbeda. Dalam
Roget’s Thesaurus, terdapat kira-kira
12 sinonim kata untuk hitam, dan
setidaknya 60% dari jumlah itu bersifat ofensif, termasuk “noda”, “jelaga”,
“iblis”, “curang”; juga terdapat kira-kira 134 sinonim kata untuk putih, dan semua artinya positif seperti
“murni”, “bersih”, dan “suci”. Jadi, kata hitam
umumnya berkonotasi negatif, sedangkan kata putih berkonotasi positif.
Kata-kata boleh jadi
terus berevolusi, dengan makna yang terus juga berubah. Sebagian kata
menghilang, sejumlah kata baru muncul. Situasi-situasi baru menciptakan
makna-mana baru.
1.
Bahasa
Daerah vs Bahasa Daerah
Oleh
karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan
subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang
(kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau
kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang
yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalhpahaman ketika
mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya awak
untuk orang Minang berarti “saya” atau “kita”, sedangkan dalam bahasa
Melayu (di Palembang, Malaysia dan Singapura misalnya) berarti “kamu”. Dapat
kita bayangkan apa yang terjadi bila orang Minang dan orang Malaysia sama-sama
menggunakan kata awak.
Terdapat
sejumlah kata yang sama dalam bahasa Sunda dan Jawa, namun mempunyai arti yang
berbeda. Kata sare (tidur) dan dahar (makan) yang merupakan kata halus
untuk orang tua dalam bahasa Jawa, ternyata hanya boleh digunakan untuk teman
sebaya yang sudah akrab atau bawahan di daerah Sunda. Kata cokot dalam bahasa
Sunda berarti “ambil”, namun dalam bahasa Jawa berarti “gigit”. Kata amis dalam bahasa Sunda yang artinya “manis”
berarti “anyir” dalam bahasa Jawa.
2.
Bahasa
Daerah vs Bahasa Indonesia
Sejumlah kata dari bahasa
daerah juga digunakan dalam bahasa Indonesia (atau bahasa Indonesia dalam
dialek Betawi), atau sebaliknya, kata-kata Indonesia terdengar seperti
deselipkan dalam bahada daerah, namun artinya sangat jauh berbeda. Misalnya,
kata sok dalam bahasa Sunda sering
sering disalahtafsirkan oleh orang non-Sunda. Dalam bahasa Betawi atau bahasa
Indonesia sok itu berarti sombong,
seperti dalam kalimat “Orangnya paling sok”.
Berbeda dengan arti sok dalam bahasa
Sunda yang berarti “Silahkan”. Kata bola dalam
bahasa Sunda berarti “benang”, kata mangga
dalam bahasa Indonesia adalah buah dalam
bahasa Sunda. Orang-orang dari suatu suku yang datang ke daerah lain, untuk
tinggal sementara atau selamanya pada
awalnya mungkin akan menemukan kesulitan dalam adaptasi mereka. Eperti
tergambar dalam ilustrasi berikut:
Seorang lelaki Jakarta berkunjung ke
Makasar. Suatu hari ia memasuki sebuah restoran. Maka terjadilah dialog seperti
ini.
Pelayan
restoran : Makan apa, Pak?
Lelaki
Jakarta : “Bolu”
Pelayan
restoran : Lainnya?
Lelaki
Jakarta : “Bolu doang”
Pelayan
restoran : Minumnya?
Lelaki
Jakarta : “Teha aja”
Pelayan
restoran : Mm, jadi the atau
kopi?
Lelaki Jakarta : “Teh dong”
Maka jangan marah
apabila pelayan menghidangkan masakan yang terdiri dari bandeng, udang dan daging
kerbau. Karena dalam bahasa Makasar, bolu berarti “bandeng” tedong berarti
“udang” dan teaja berarti “tidak mau”.
Orang-orang jawa yang dibesarkan
diluar daerah kelahiran mereka termasuk pujakesuma (putera Jawa kelahiran
Sumatera) yang tidak bias berbahasa Jawa, ketika merayakan idul Fitri di Jawa
pasti terheran-heran ketika setiap orang yang menyalami meraka mengucapakan
Sugeng Riyadi. Kok namaya semua. Ternyata artinya Selamat Hari Raya.
3.
Bahasa
Indonesia vs Bahasa Malaysia
Suatu bangsa atau suku
biasanya menganggap bahasanya sendiri sebagai yang terbaik dan menganggap
bahasa lain tidak alamiah baik cara bicara ataupun kata yang diucapkan. Mengapa
mereka tidak menggunakan kata-kata yang benar untuk mmenyebut segala sesuatu? Maka
jangan heran jika ada orang Malaysia berkata “Sepasang kelammin tinggal di
rumah itu”, sepasang kelamin berarti “sepasang suami istri”, “mari kita tengok
wayang” (wayang = film). Ketika kita berkomunikasi dengan orang Malaysia,
terutama untuk pertama kalinya kesalahpahaman mungkin tak dapat dihindarkan
seprti ilustrasi berikut:
Seorang peserta
Indonesia yang pernah mengikuti uatu konferensi di Malaysia menuturka
pengalaman lucunya. Ketika rombonan baru tiba di hotel, ia mendapat pesan
telepon yang berbunyi “seluruh peserta konferensi dari Indonesia di jemput ketempat panitia pukul 20.00”.
berita tersebut langsung disampaikan kepada teman-teman lainnya. Tepat pukul
20.00 mereka siap menunggu di lobi hotel , tetapi sampai pukul 21.00 jemputan
juga belum dating. Lalu salah seorang dari mereka menelpon panitia. Seusai
menelpon, orang it uterus tertawa, membuat orang lain bingung. Ia menjelaskan
bahwa mereka semua yang salah, bukan panitia. Dala bahasa Malaysia, ternyata
dijemput berarti “diundang”.
Perhatikan dialog
antara orang Indonesia dan orang Malaysia berikut ini:
Malaysia : awak punya kereta pribadi ?
Indonesia : Tidak, orang Indonesia tidak punya kereta pribadi, karena
itu milik pemerintah.
Malaysia : Bagaimana mungkin? Itu kereta yang dikemudian adikmu,
bukankah miliknya? (oh, ternyata itu maksudnya kereta)
Berikut sejumlah kata
Malaysia bersama sinonimnya dalam bahasa Indonesia, yang dapat menimbulkan
kesalah pahaman.
Bahasa
Malaysia
|
Bahasa
Indonesia
|
Batu
|
Mil
|
Bilik
|
Kamar
|
Budak
|
Anak
|
Comel
|
Lucu,
cantik
|
Cuai
|
Ceroboh
|
Dikacau
|
Diaduk
|
Cermin
mata
|
Kacamata
|
Kasut
|
Sepatu
|
Mangga
|
Kunci
gembok
|
Padang
letak kereta
|
Tempat
parkir mobil
|
Pejabat
|
Gedung,
kantor
|
Kereta
|
Mobil
|
Percuma
|
Gratis
|
Pintu
kecemasan
|
Pintu
darurat
|
Pusing-pusing
|
Berkeliling,
berputar
|
Sehala
|
Satu
arah, satu jalur
|
Seronok
|
Bagus,
menyenagkan, meriah
|
Tambang
|
Ongkos
|
Tandas
|
WC
|
Tewas
|
Kalah
|
Tidak
boleh tidur
|
Tidak
dapat tidur
|
Ganja
|
Dadah,
salam perpisahan
|
Banyak kata Malaysia
diadopsi dari bahasa Inggris seperti: university, fesyen (fashion), komen (comment), dan
tai (tie).
4.
Bahasa
Daerah/Bahasa Indonesia vs Bahasa Asing Lainnya
Terkadang kita
menemukan kata-kata dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia yang sama atau
mirip dengan kata-kata asing, tetapi dengan makna yang berbeda. Mungkin kkita
akan geli membaca atau mendengar kata-kat tersebut.
Dalam bahasa Filipina
kata bawal berarti “dilarang”, bagong berarti “baru”, balita berarti “berita”.
Jadi, magandang balita itu berarti berita baik.
Sepupu saya baru pulang
dari jepang. Ia bercerita bahwa seorang teman pria Jepang bertanya macam-macam
tentang Indonesia, lalu menunjuk cincin yang dipakainya. Apa bahasa
Indonesianya ini? Cincin jawabnya. Teman yang orang Jepang agak tersipu.
Kemudia sepupu saya bertanya lagi, kenapa? Tidak apa-apa, jawabnya. Lalu teman
pria itu bertanya, apa kamu suka cincin? Tentu saja. Memengnya kamu mau
membelikan saya cincin? Sahut sepupu saya. Temannya tertawa terbahak-bahak.
Kalau kamu mau, sekarang juga akan saya kasih. Sepupu saya mulai merasa heran.
Maka ia pun bertanya. Sebenarnya dalam bahasa Jepang cincin artinya apa? Laul
temannya menjelaskan cincin dalam bahsa Jepang berarti alat kelamin laki-laki.
Setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak.
F.
Nama
sebagai Simbol
Fungi pertama bahasa
adalah penamaan. Nama diri sendiri adalah symbol pertama dan utama bagi
seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita rasa budaya, untuk memperoleh
citra tertentu atau sebagai hoki. Nama pribadi adalah unsur penting identitas
seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengannama dan baru
diikuti dengan atribut lainnya. Nama yang kita terima sejak lahir tidak hanya
mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk
memperlakukan kita dan terpenting mempengaruhi
kita dalam mempersepsi diri sendiri.
Nama adalah bagian dari
konsep diri yang sangat penting. Bahkan nama menunjukkan kesadaran seseorang.
Perubahan nama orang yang tadinya non-Muslim menjadi Muslim adlah suatu
pertanda perubahan jati dirinya dan hubungannya dengan alam semesta.
Nama jelas bersifat
simbolik. Nama yang dianggap bagus atau keren menimbulkan kesan yang positif
pada pendengar atau pembaca nama itu. Suatu penelitian menemukan bahwa orang
bernama Jhon dipersepsi sebagai orang yang ramah dan dapat dipercaya, James,
Michael, Wendy sebagai orang yang aktif.
Terdapat bukti bahwa
nama yang lazim memberi kesan lebih baik daripada nama yang kurang lazim. Suatu
penelitian menemukan bahwa guru-guru cenderung terpengaruh oleh nama.
Pemilihan nama
ditentukan oleh faktor agama. Selain itu karena nama tersebut unik atau nama tokoh
favorit dan peristiwa penting saat kelahiran seperti nama berbau milenium yaitu
Millenio. Tetapi nama tokoh politik seperti Megawati, Amin Rais, dan lain-lain
jarang dipilih. Berbagai cara digunakan oleh suatu budaya untuk memberi nama
seorang anak yang lahir. Di Bali, urutan seoranga anak dalam diketahui
berdasarkan namanya: Wayan, Made,
Nyoman, Ketut. Masing-masing anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Nama hewan pun dapat
berfungsi sebagai symbol. Burung merak melambangkan keindahan dan keanggunan.
Bunglon melambangkan orang yang plinplan. Bebek melambangkan orang yang selalu patuh dan mengekor pendapat
orang lain. Belut melambangkan orang yang licik dalam berdagang dan berpolitik.
Ayam melambangkan orang yang penakut dan lembek.
Penamaan seseorang
ternyata tidak sederhna. Nama dapat juga
menyusahkn penyandangnya. Orang yang bernama Muhammad, Khadijah mungkin
akan terbebani jika mereka melakukan sifat yang buruk. Sementara julukan yang
tidak tepat akan timbul “nubuat yang dipenuhi diri sendiri”.
G.
Bahasa
Gaul
1. Asal-usul Bahasa Gaul
Sejumlah kata atau
istilah mempunya arti khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan
arti yang lazim ketika digunakan oleh orang-orang dari subkultur tertentu,
bahasa Subkultur ini disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul atau
argot.
Bahasa gaul sebenrnya
sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istila-istilah dalam bahasa gaul itu untuk
merahasiakn obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena sering digunakan di
luar komunitasnya, lama-lam istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.
Bahasa prokem Indonesia atau bahasa
gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan
jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia.
Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh
bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/pengubahsuaian pemakaian kata oleh
kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.[9]
Akar dari bahasa gaul
adalah bahasa prokem. Kata prokem sendiri merupakan “bahasa gaul preman”.
Bahasa ini awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama
lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang,
mereka merancang kata-kata baru dengan cara antara lain mengganti kata ke lawan
kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distrubusi
fonem, penambahan awalan, sisipan, atau
akhiran.
Karena begitu seringnya
mereka menggunakan bahasa sandi mererka itu di berbagai tempat, lama-lama orang
awam pun mengerti yang mereka maksud. Artinya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan
menggunakan bini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidal lagi
menjadi bahasa rahasia. Kalau enggak percaya coba deh Tanya bokap atau nyokap
kita, tahu engga mereka dengan istilah moakal,mokat, atau bokin. Kalau mereka
engga mengerti artinya berarti di masa mudanya dulu mereka bukan anak gaul.
Dengan motif yang lebih
kurang sama dengan dengan preman, kaum waria juga menciptakan sendiri bahasa
rahasia mereka. Sampai sekarang kita masih sering mendengar istilah “bencong”
untuk menyebut seorang banci? Nah, kata bencong itu sudah ada sejak awal
1970-an juga, ya hampir beramaan deh dngan bahasa prokem. Pada perkembangannya,
konon para waria atau banci inilah yang paling rajin berkreasi menciptakan
istilah-istilah baru yang kemudian memperkaya bahasa gaul.
Kosakata bahasa gaul
yang berkembang belakangan ini sering
enggak beraturan alias engga ada rumusnya. Sehingga kita perlu menghafal setiap
kali muncul istilah baru. Misalnya untuk sebuah lawakan yang engga lucu, kita
bias menyebutnya garing atau jayus. Ada juga yang menyebut jasjus. Untuk
sesuatu yang engga oke, biasa kita sebut cupu. Jayus dan cupu bias dibilang
kosa kata baru.
2. Pengertian
Bahasa Gaul
Menurut Wikipedia bebas-hasil dari penelusuran situs google
mengatakan bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem adalah ragam bahasa
Indonesia non standar yang lazim digunakan di Jakarta
pada tahun 1970-an yang kemudian digantikan oleh ragam yang disebut sebagai bahasa gaul.
Bahasa prokem ditandai oleh kata-kata Indonesia atau kata dialek Betawi yang
dipotong dua fonemnya
yang paling akhir kemudian disisipi bentuk -ok- di depan fonem terakhir yang
tersisa. Misalnya, kata bapak dipotong menjadi bap, kemudian disisipi -ok-
menjadi bokap. Diperkirakan ragam ini berasal dari bahasa khusus yang digunakan
oleh para narapidana. Seperti bahasa gaul, sintaksis dan morfologi ragam ini
memanfaatkan sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia dan dialek Betawi.[10]
Bahasa gaul atau argot
atau bahasa prokem adalah penggunaan kata-kata dalam bahasa yang tidak resmi
dan ekspresi yang bukan merupakan standar penuturan dialek atau bahasa.[11]
Kata dalam bahasa gaul biasanya kaya dalam domain tertentu, seperti kekerasan,
kejahatan dan narkoba dan seks.
Bahasa prokem ini
mengalami pergerseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa gaul. Dalam
konteks kekinian, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang
terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (contohnya, kalangan
homo seksual atau waria). Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak
ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam
komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama “Kamus Bahasa Gaul” pada
tahun 1999.
Meskipun bahasa gaul
sebenarnya merujuk kepada bahasa khas yang digunakan setiap komunitas atau
subkultur apa saja, bahas gaul lebih sering merujuk pada bahasa rahasia yang
digunakan dalam kelompok yang menyimpang, seperti kelompok preman, kelompok
penjual narkotika, kaum homoseksual/lesbian, pelacur, dsb.
Saat ini bahasa gaul
telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai percakapan
sehari-hari dalam pergaulan di lingkngan
social bahkan dalam media-media popular seperti TV, radio, dunia
perfilman nasional, dan sering pula digunakan dalam bentuk publikasi-publikasi
yang ditunjukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja popular.
Bahasa gaul umumnya
digunakan di lingkungan perkotaan. Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan
dari bahasa gaul bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya
dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang menjadi
penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat.
Perbendaharaan kata dalam bahasa gaulnya banyak mengandung kosakata-kosakata
yang berasal dari bahasa sunda.
Cara pengucapan bahasa
gaul dilafalkan sama seperti halnya bahasa Indonesia. Kosakata-kosakata yang
meminjam dari bahasa lain seperti bahasa Inggris atau bahasa Belanda di
transliterasikan pengucapannya, contohnya, ‘please’ ditulis sebagai plis.
Struktur dan tata
bahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa Indonesia, dalam
banyak kasus kosakata yang dimilikinya hanya merupakan singkatan dari bahasa
indonesianya. Perbedaan utama bahasa formal (Indonesia) dengan bahasa gaul
utamanya adalah dalam perbendaharaan kata.
3. Ciri-ciri Bahasa Gaul
Berikut ini beberapa ciri dari bahasa gaul:[12]
1)
Kosakata
khas: berkata → bilang, berbicara → ngomong, cantik →kece, dia → doi, doski,
kaya →tajir, reseh →berabe, ayah → bokap, ibu → nyokap, cinta →cintrong, aku
→gua, gue, gwa, kamu → lu, lo, elu, dll.
2)
Penghilangan
huruf (fonem) awal: sudah → udah, saja → aja, sama → ama, memang → emang, dll.
3)
Penghilangan
huruf “h”: habis → abis, hitung → itung, hujan → ujan, hilang → ilang, hati →
ati, hangat → anget, tahu → tau, lihat → liat, pahit → pait, tahun → taon,
bohong → boong, dll.
4)
Penggantian
huruf "a" dengan "e": benar → bener, cepat → cepet, teman→
temen, cakap → cakep, sebal → sebel, senang → seneng, putar → puter, seram
→serem.
5)
Penggantian
diftong "au", "ai" dengan "o" dan "e":
kalau → kalo, sampai → sampe, satai → sate, gulai → gule, capai → cape, kerbau
→ kebo, pakai → pake, mau (bukan diftong) → mo, dll.
6)
Pemendekan
kata atau kontraksi dari kata/frasa yang panjang: terima kasih → makasi/trims,
bagaimana → gimana, begini → gini, begitu → gitu, ini → nih, itu → tuh.
Pengunaan
Imbuhan
1)
Peluluhan
sufiks me-, pe- seperti: membaca → baca, bermain → main, berbelanja →
belanja, membeli → beli, membawa → bawa, pekerjaan → kerjaan, permainan →
mainan, dst.
2)
Penggunaan
akhiran "-in" untuk menggantikan akhiran "-kan": bacakan →
bacain, mainkan → mainin, belikan → beliin, bawakan → bawain, dst.
3)
Nasalisasi
kata kerja dengan kata dasar berawalan 'c': mencuci → nyuci, mencari → nyari,
mencium → nyium, menceletuk → nyeletuk, mencolok → nyolok
4)
Untuk
membentuk kata kerja transitif, cenderung menggunakan proses nasalisasi. Awalan
"me-", akhiran "-kan" dan "-i" yang cukup rumit
dihindarkan.
§ Proses nasalisasi kata kerja aktif+ in untuk membentuk
kata kerja transitif aktif: memikirkan→ mikirin, menanyakan → nanyain,
merepotkan → ngerepotin, mengambilkan → ngambilin
§ Bentuk pasif 1: di + kata dasar + in: diduakan → diduain,
ditunggui → ditungguin, diajari → diajarin, ditinggalkan → ditinggalin
§ Bentuk pasif 2: ke + kata dasar yang merupakan padanan
bentuk pasif "ter-" dalam bahasa Indonesia baku: tergaet → kegaet,
tertimpa → ketimpa, terpeleset → kepeleset, tercantol → kecantol, tertipu →
ketipu, tertabrak → ketabrak
4. Contoh
Bahasa Gaul
Kebanyakan partikel
mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat
dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara
dan pendengar, suasana hati/ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat
tersebut diucapkan.
§ Deh/
dah(Bagaimana kalau ...)
Coba dulu deh. (tidak menggunakan
intonasi pertanyaan) - Bagaimana kalau dicoba dulu?
§ Dong(Tentu saja ...)
Sudah pasti dong. – Sudah pasti / Tentu saja.
Mau yang itu dong – Tentu saja saya mau yang itu.
§ Eh(Pengganti subjek, sebutan untuk orang kedua…)
Eh, namamu siapa? - Bung, namamu siapa?
Eh,
ke sini sebentar. - Pak/Bu, ke sini sebentar.
Ke
sini sebentar, eh. - Ke sini sebentar, Bung.
§ Kan(Kependekan
dari 'bukan', dipakai untuk meminta
pendapat/penyetujuan
orang lain (pertanyaan)…)
Bagus
kan? - Bagus bukan?
Kan
kamu yang bilang? -Bukankah kamu yang bilang demikian?
Dia
kan sebenarnya baik. -Dia sebenarnya orang baik,bukan?
§ Kok(Kata
tanya pengganti 'Kenapa (kamu)'…)
Kok kamu terlambat? – Kenapa kamu terlambat?
§ Lho/Loh(Kata
seru yang menyatakan keterkejutan. Bisa digabung dengan kata tanya. Tergantung
intonasi yang digunakan, partikel ini dapat mencerminkan bermacam-macam
ekspresi…)
Lho, kok kamu terlambat? -Kenapa kamu terlambat? (dengan
ekspresi heran)
Loh, apa-apaan ini! – Apa yang terjadi di sini? (pertanyaan
retorik dengan ekspresi terkejut/marah)
§ Nih(Kependekan dari 'ini'…)
Nih balon yang kamu minta. -Ini (sambil menyerahkan
barang). Balon yang kamu minta.
Nih,
saya sudah selesaikan tugasmu. - Ini tugasmu sudah saya selesaikan.
§ Sih(Karena ...)
Dia
serakah sih. - Karena dia serakah. (dengan ekspresi mencemooh)
Kamu
sih datangnya terlambat .- Karena kamu datangterlambat. (dengan ekspresi
menyesal)
§ Tuh/ tu(Kependekan dari 'itu', menunjuk kepada suatu
objek…)
Lihat tuh hasil dari perbuatanmu. - Lihat itu, itulah
hasil dari perbuatanmu.
Tuh orang yang tadi menolongku. - Itu lihatlah, itu orang
yang menolongku.
§ Yah(Selalu menyatakan kekecewaan dan selalu digunakan di
awal kalimat atau berdiri sendiri….)
Yah,
Indonesia kalah lagi -Indonesia kalah lagi (dengan ekspresi kecewa)
Bahasa gaul dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
jenis lagi, ada yang disebut bahasa gaul kaum selebritis, kaum gay dan lesbian
atau kaum waria. Bahasa ini digunakan untuk memproteksi kelompok mereka dari
komunitas lain. Sehingga komunikasibyang mereka lakukan, hanya kelompok mereka
saja yang mengerti.[13]
1) Bahasa
kaum selebritis
Perhatikan
kata-kata yang sering digunakan oleh kalangan selebritis dalam bahasa gaul
yaitu:
- Baronang = baru
- Cinewinek = cewek
- Pinergini = pergi
- Ninon tinon = nonton
2) Bahasa
gay dan bahasa waria
Di
negara kita bahasa gaul kaum selebritis ternyata mirip dengan bahasa gaul kaum
gay (homoseksual) dan juga bahasa gaul
kaum waria atau banci. Sekelompok mahasiswa saya dari Fikom Unpad, berdasarkan
penelitian mereka atas kaum gay di Bandung menemukan sejumlah kata yang mereka
gunakan, misalnya adalah:
§ Cinakinep
= Cakep
§ Duta = Uang
§ Kemek = Makan
§ Linak = Laki-laki
§ Maharani = Mahal
§ Jinelinek = Jelek
3) Bahasa
kaum waria
Bahasa
adalah sebagian dari bahasa gaul yang dianut sebuah komunitas banci (waria),
seperti yang diperoleh sekelompok mahasiswa berdasarkan wawancara dengan
seorang waria.
- Akika/ike = aku
- Bis kota = besar
- Cakra = ganteng
- Cucux = cakep/keren
- Diana = dia
- Inang = Iya
H.
Ragam
Bahasa Inggris
1.
Makna
Bahasa Inggris
Bahasa
Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulis.
Berkomunikasi adalah memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan,
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Kemampuan
berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah kemampuan berwacana, yakni
kemampuan memahami dan/atau menghasilkan teks lisan dan/atau tulis yang
direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan inilah yang digunakan
untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
karena itu, mata pelajaran Bahasa Inggris diarahkan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan tersebut agar lulusan mampu berkomunikasi dan
berwacana dalam bahasa Inggris pada tingkat literasi tertentu.
Tingkat
literasi mencakup:
§ Pada tingkat performatif
§ Orang mampu membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara dengan
simbol-simbol yang digunakan.
§ Pada tingkat Fungsional
§ Orang mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari seperti membaca surat kabar, manual atau petunjuk.
§ Pada tingkat Informasional
§ Orang mampu mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa
§ tingkat epistemik
§ Orang mampu mengungkapkan pengetahuan ke dalam bahasa sasaran
2.
Ruang Lingkup Bahasa Inggris
Ruang
lingkup mata pelajaran Bahasa Inggris meliputi:
1) Keterampilan berbahasa, yakni
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis
2)
Kompetensi yang meliputi
kompetensi tindak bahasa,linguistik (kebahasaaan),sosiostruktural,strategi,dan
kompetensi wacana
3)
Pengembangan sikap yang
positif terhadap bahasa Inggris sebagai alat komunikasi
Berkomunikasi
dalam bahasa Inggris lisan maupun tulis secara lancer dan akurat sesuai dengan
konteks sosialnya.
a.
Mendengarkan
Memahami makna (interpersonal,ideasional,tekstual) dalam berbagai
teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan linguistik
tertentu.
b.
Berbicara
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal,ideasional,tekstual)
dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan
linguistik tertentu.
c.
Membaca
Memahami berbagai makna (interpersonal,ideasional,tekstual) dalam
berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan
linguistik tertentu.
d.
Menulis
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal,ideasional,tekstual)
dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan
linguistik tertentu.
3.
Ragam Bahasa Inggris
Bahasa Inggris yang lebih universal pun
ternyata tidak konsisten dalam ejaannya,pilihan kata dan juga maknanya. Bahasa
Inggris telah berkembang menjadi beberapa ragam,antara lain seperti :
§ Inggris-Inggris (British-English)
§ Inggris-Amerika
§ Inggris-Australia
§ Inggris-Filipina
§ Inggris-Singapura
4.
Contoh Berkomunikasi dalam Bahasa Inggris
Dikalangan pengajar Bahasa Inggris
muncul pertanyaan tentang pengucapan bahasa Inggris yang mana harus diajarkan
kepada muridnya.
Orang Inggris menggunakan kata knock up yang berarti
mengunjungi tetapi di Amerika kata tersebut berarti menghamili. Mahasiswi
Amerika yang mendengar kalimat “I will knock you up tomorrow morning!” yang
diucapkan ole seorang pria Inggris yang baru dikenalnya di asrama mahasiswa
internasional, tentu saja akan kaget bukan kepalang.
Kalau diperhatikan secara seksama, banyak perbedaan
antara ragam Inggris-Ingggris dan Inggris-Amerika dalam aspek lainnya, bukan
hanya pilihan kata, struktur bahasa, tetapi juga intonasi dan gaya berbicara
pada umumnya. Misalnya, ketika orang Inggris tidak setuju dengan seseorang,
mereka lazim berkata, “I may be wrong, but …” (“Mungkin saya kelitu, tetapi …”)
atau “There is just one thing in all that you have been saying that sorries me
a little …” (“Ada satu hal saja dalam semua yang anda katakan yang sedikit
mengkhawatirkan saya …”).
Orang Inggris biasanya berbicara dengan
berbunga-bunga, banyak eufimisme, dan “sok gentleman”. Orang Amerika berbicara
langsung dan lugas, dengan mulut yang terbuka lebar, sedangkan orang Australia
berbicara dengan bukaan mulut yang lebih sempit.
I. Pengalihan Bahasa
Komunikasi dalam bahasa yang sama dapat menimbulkan
salah pengertian apalagi bila kita tidak dapat menguasai bahasa lawan bicara
kita. Untuk melakukan komunikasi yang efektif, kita harus menguasai bahasa
mitra komunikasi kita. Dalam konteks inilah kita setidaknya perlu menguasai
bahasa Inggris (sebagai bahasa internasional) untuk menjadi seorang komunikator
yang efektif.
Perbedaan bahasa dapat menimbulkan kesulitan lebih
jauh daripada sekedar kekeliruan penerjemahan. Kita sering sulit menerjemahkan
sebuah kata ke bahasa lain, karena tidak ada padanannya ke dalam bahasa lain
itu, meskipun kita bisa mengira-ngira artinya. Bahkan ketika kita mampu
menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan kecermatan yang harfiah,
maknanya yang dalam sering hilang karena makna tersebut berakar dalam budaya
bahasa tersebut.
J. Komunikasi Konteks Tinggi Vs
Komunikasi Konteks Rendah
Edward T. Hall (1973) membedakan komunikasi konteks yaitu:
Edward T. Hall (1973) membedakan komunikasi konteks yaitu:
1.
Komunikasi
budaya konteks-tinggi (high-context culture)
Budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi
konteks-tinggi: kebanyakan pesan bersifat implicit, tidak langsung dan tidak
terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku
nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi
wajah, tatapan mata, atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan,
benda-benda dan sebagainya). Maka anggota-anggota budaya konteks-tinggi lebih
terampil membaca perilaku nonverbal dan dalam membaca lingkungan.
Contohnya adalah komunikasi orang kembar dengan
menggunakan kalimat pendek-pendek atau kata-kata singkat. Sifat komunikasi
konteks-tinggi adalah tahan lama, lamban berubah, mengikat kelompok yang
menggunakannya.
2. Komunikasi budaya konteks rendah
(low-context culture)
Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi
konteks-rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan
berterus terang. Para penganut budaya konteks-rendah ini mengatakan apa yang
mereka maksudkan (they say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka
katakana (they mean what they say). Bila mereka mengatakan “yes”, itu berarti
mereka benar-benar menerima atau setuju. Contohnya adalah komunikasi (program)
computer. Setiap pesan harus dispesifikasikan dengan kode-kode tertentu; kalau
tidak, programnya tidak akan jalan.
Bernstein, dalam komunikasi konteks-tinggi,
pembicara menggunakan sedikit alternative, tetapi kemungkinan meramalkan
polanya lebih besar; arti pesanpun lebih khusus. Sebaliknya dalam komunikasi
koneks-rendah, pembicara akan memilih pesan dari sejumlah alternative yang
relative banyak, dan oleh karena itu kemungkinan meramalkan hasil pesan akan
berkurang, tetapi menjamin pengertian yang lebih universal.
Secara garis besar, urutan sejumlah Negara
berdasarkan tingkat budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya
konteks-tinggi), menurut Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss, Jerman,
Skandinavia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab,
Cina, dan Jepang. Indonesia termasuk budaya konteks-tinggi dan mungkin berada
di antara budaya Arab dan budaya Cina.
Sebagai ilustrasi, jika kita mengajak orang
Indonesia makan mereka akan menjawab,”aduh,sudah tadi” atau “terima kasih,
masih kenyang.” Akan tetapi perutnya keroncongan,dalam hati ia berharap tuan
rumah akan mengajaknya lagi dan lagi,hingga akhirnya “apa boleh buat,ia makan
juga.” Jadi bahasa mereka tidak langsung.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
Larry L. Barker (dalam Deddy Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga fungsi:
penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Simbol
atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau
lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy Mulyana,
2005). Beberapa komponen-komponen komunikasi verbal adalah: Suara, Kata-kata,
Berbicara, dan Bahasa.
Keterbatasan bahasa adalah adanya perbedaan arti atas
penamaan atas hambatan lain saat anda sedang melakukan komunikasi.
Makna kata itu sendiri diklarifikasikan menjadi 2 Dua yaitu:
Makna Denotif: Makna yang sebenarnya (factual) dan bersifat public dan Makna
konotatif: Makna yang subjektif dan bersifat emosional. Kita keliru bila kita
menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. kitalah yang memberi makna
pada kata dan makna
yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, bergantung pada
konteks ruang dan waktu.
Di Indonesia juga
kita meneganal istilah bahaa gaul sebagai salah satu sarana komunikasi verbal
yang belakngan ini banyak digunakan. Bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan
jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia.
Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa
Betawi yang mengalami penyimpangan/ pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum
remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.
Bahasa prokem
merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan anak-anak remaja. Istilah ini muncul pada
akhir tahun 1980-an. Pada saat itu ia dikenal sebagai 'bahasanya para bajingan atau anak jalanan' disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman.
B. Saran
Komunikasi verbal
merupakakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan, komunikasi
verbal lebih meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi. Namun
belakangan ini hal itu justru sering terjadi, ini dikarenakan keanekaragaman
bahasa daerah yang kita miliki. Untuk itu, kita sebagai generasi muda
diharuskan mempelajari bahasa pemeratu yaitu bahasa Indonesia yang baik dan
benar, tentunya dengan makna yang sesuai dengan EYD tanpa mencampur adukkan
dengan makna dalam bahasa daerah. Dengan demikian diharapkan dapat menghindari
kesalahan dalam berkomunikasi.
Di Indonesia juga kita
mengenal istilah bahasa gaul atau bahasa prokem yang banya digunakan oleh
masyarakat khususnya anak muda untuk berkomunikasi dalam lingkungan
pergaulannya. Pengaruh bahasa gaul lebih banyak terjadi di perkotaan dan
menimbulkan generasi muda kurang memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahkan mereka cenderung sulit menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan
pengaruh pemakaian bahasa gaul terbawa ketika kita dalam proses perkuliahan. Dengan
demikian, kita harus mulai menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar
minimal dilingkungan kampus atau sedang mengikuti perkuliahan. Maka, kita akan
terbiasa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
[2]
Jalaludin Rakhamat, Psikologi Komunikasi (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994) , p. 39.
[4]
http://www.scribd.com/doc/84632104/komunikasi-VERBAL-%E2%80%93-NON-VERBAL
[5] Loc, cit.
[8]
Ponco Dewi, Modul Ilmu
Komunikasi (Jakarta: FEUNJ, 2013), p. 136
[11]
Ponco Dewi, op. cit., p.
144
[12]
id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_gaul
[13]
Ponco Dewi, op. cit., p.
147