Sabtu, 11 Mei 2013

KOMUNIKASI VERBAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung. Komunikasi merupakan faktor penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi bisnis. Seorang pimpinan secara rutin harus berkomunikasi dengan bawahannya untuk meminta mereka membuat surat pesanan, barang, menjawab atau membuat surat aduan, membuat surat balasan atau tanggapan , dan sejenisnya.
            Komunikasi verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan kepada pihak lain melalui tulisan (written) maupun lisan (oral). Meskipun seseorang dapat mengungkapkan sesuatu secara nonverbal (tidak melalui tulisan atau lisan), ia tetap membutuhkan komunikasi verbal, misalnya bila hendak membahas kejadian masa lalu, ide atau abstraksi. Hal-hal tersebut tidak dapat diungkapkan secara sempurna dengan komunikasi nonverbal, tetapi dapat diungkapkan lewat kata-kata yang disusun dalam suatu pola yang berarti, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan (pidato).
            Melalui komunikasi lisan atau tulisan, diharapkan orang akan memahami apa yang disampaikan pembicara atau penulis. Penyampaian suatu pesan lewat tulisan dan lisan tentu memiliki suatu harapan bahwa seseorang akan dapat membaca atau mendengar apa yang akan dikatakan. Untuk pesan-pesan, seseorang dapat menggunakan pendengaran dan bacaan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana asal usul terjadinya bahasa?
2.      Apa fungsi bahasa dalam kehidupan manusia?
3.      Apa yang dimaksud dengan bahasa verbal?
4.      Apa yang dimaksud dengan keterbatasan bahasa?

5.      Apa yang dimaksud dengan kerumitan makna?
6.      Mengapa nama dapat dijadikan sebagai simbol?
7.      Apa yang dimaksud dengan bahasa gaul?
8.      Apa yang dimaksud dengan ragam bahasa inggris?
9.      Apa yang dimaksud dengan pengalihan bahasa?
10.  Apa yang dimaksud dengan komunikasi konteks rendah vs komunikasi konteks tinggi?

C.    Tujuan
Adapun tujuan berdasarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana asal usul terjadinya bahasa.
2.      Untuk mengetahui fungsi bahasa dalam kehidupan manusia.
3.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bahasa verbal.
4.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan keterbatasan bahasa.
5.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kerumitan makna.
6.      Untuk mengetahui mengapa nama dapat dijadikan sebagai simbol.
7.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bahasa gaul.
8.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ragam bahasa inggris.
9.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengalihan bahasa.
10.  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan komunikasi konteks rendah vs komunikasi konteks tinggi.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal Usul Bahasa
Hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul di permukaan bumi. Ada dugaan kuat bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal. Teoretikus kontemporer mengatakan bahwa bahasa adalah ekstensi perilaku sosial . Lebih dari itu, bahasa ucap bergantung pada perkembangan kemampuan untuk menempatkan lidah secara tepat di berbagi lokasi dalam sistem milik manusia yang memungkinkannya membuat berbagai suara kontras yang diperlukan untuk menghasilkan ucapan. Kemampuan ini mungkin berhubungan dengan kemampuan manusia lebih awal untuk mengartikulasikan isyarat-isyarat jari-jemari dan tangan yang memudahkan komunikasi noverbal. Konon, hewan primata (kera, monyet, gorila dan sejenisnya) berevolusi sejak kira-kira 70 juta tahun lalu, dimulai dengan hewan mirip tikus kecil yang hidup sejaman dengan dinosaurus.
            Dulu, nenek moyang kita yang juga disebut Cro Magnon ini tinggal di gua-gua. Mereka mempunyai sosok seperti kita, hanya saja lebih berotot dan lebih tegap, mungkin karena hidup mereka peuh semangat dan makan makanan yang lebih sehat. Mereka adalah pemburu dan pengumpul makanan yang berhasil. Ketika mereka belum mapu berbahasa verbal, mereka berkomunikasi dengan gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, cadas dan dinding gua yang banyak ditemukan di Spanyol dan Perancis Selatan. Mereka menggambarkan bison, rusa kutub dan mamalia lainnya yang mereka buru. Inilah sarana pertama yang dikenal manusia untuk merekan informasi.
            Dalam tahap perkembangan berikutnya, antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan. Ini mungkin karena mereka punya struktur tengkorak, lidah dan kotak suara yang mirip dengan yang kita miliki sekarang. Kelebihan homo sapiens dari makhluk sebelumnya adalah kemampuan mereka untuk mengembangkan salah satu jenis tanda yang disebut dengan simbol atau lambang. Sedangkan makhluk hidup sebelumnya lebih mengandalkan ikon, sinyal atau indeks dalam komunikasi mereka. Kemampuan berbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini, tidak seperti makhluk mirip manusia sebelumnya yang musnah. Karena Cro Magnon dapat berpikir lewat bahasa, mereka mampu membuat rencana, konsep, berburu dengan cara yang keras dan cuaca yang buruk. Mereka juga dapat mengawetkan makanan.
            Sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi mereka menemukan cara-cara bertani demi kelangsunagn hidup mereka. Pendek kata, homo sapiens semakin makmur dari abad ke abad, karena mereka memiliki banyak pengetahuan untuk bertahan hidup dan mengembangan budaya mereka, yang kemudian mereka wariskan kepada generasi berikutnya. Mereka tidak hanya menggarap tanah dan beternak tetapi juga mengembangkan teknologi termasuk penggunaan logam, anyaman. Roda, kereta dan barang tembikar. Mereka juga punya waktu untuk bersenang-senang, membuat inovasi dan berkontemplasi. Namun mereka belum dapat menulis. Sementara itu, bahasa pun semakin beraneka ragam. Cara bicara baru berkembang ketika orang-orang menyebar ke kawasan-kawasan baru tempat mereka menemukan dan mengatasi problem-problem baru. Bahasa-bahasa lama pun terus berevolusi dari generasi ke generasi.
            Sekitar 5000 tahun lalu manusia melakukan transisi komunikasi dengan memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Transisi paling dini dilakukan bangsa Sumeria dan bagsa Mesir kuno, lalu juga bangsa Maya dan bangsa Cina yang mengembangkan sistem tulisan mereka secara independen. Tahun 2000 Sebelum Masehi, papirus digunakan secara luas di Mesir untuk menyampaikan pesan tertulis dan merekam informasi. Penyebaran sistem tulisan itu akhirnya sampai juga ke Yunani. Bangsa Yunanilah yabg kemudian menyempurnakan dan menyederhanakan sistem tulisan ini. Menjelang kira-kira 500 Sebelum Masehi, mereka telah menggunakan alfabet ini secara luas. Akhirnya alfabet Yunani itu diteruskan ke Roma tempat sistem tulisan itu disempurnakan lagi. Sistem tulisan dan bahasa lisan itu terus berkembang hingga kini. Kita pun memasuki era pada abad ke 15, yang beberapa abad kemudian disusul oleh era radio, era televisi dan kini era komputer. Kesemuanya merekam hasil peradaban manusia untuk disempurnakan lagi oleh generasi-generasi mendatang lewat kemampuan mereka dalam berbahasa.

B.     Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Manusia
            Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek dan peristiwa. Setiap orang punya nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa dan pada awalnya itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang lalu menjadi konvensi. Mengapa mataharidisebut matahari? Karena ia disebut matahari! Adalah keliru menganggap sesuatu itu mempunyai hanya satu nama yang benar. Benda yang kita terima dari tukang pos kita sebut surat. Ketika isinya kita ketahui menawarkan barang atau jasa kita sebut iklan. Karena kita tidak tertarik pada penawaran itu, benda itu kita buang ke keranjang sampah. Bagaimana kita menjuluki Emha Ainun Najib? Budayawan, cendekiawan, seniman, pelukis, kolumnis, kiai, penyanyi atau pelawak?  Salah satu menjawabnya : Bergantung pada apa yang sedang ia lakukan  saat itu. Bila ia sedang berceramah agama, ia kiai. Bila iamsedang menulis buku, artikel atau kolom ia penulis dan bila ia penulis dan bila ia sedang menyanyi dengan iringan kelompok musiknya ia penyanyi. Suatu objek mempunyai beberapa tingkat abstraksi. Ibu kita adalah ibu, ibu adalah wanita, wanita adalah manusia, manusia adalah makhluk hidup dan makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan. Semakin luas kelasnya, semakin abstrak konsep tersebut. Sepanjang hidup kita sebenarnya belajar mengabstraksikan segala sesuatu.
            Menurut Larry L.Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: Penamaan (naming atau labelling), interaksi dan transmisi informasi.[1] Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi, menurut Barker, menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga Anda tidur kembali, dari orang lain, baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita . Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi; kita tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk kita rujuk dalam komunikasi kita.
            Dalam pada itu, Cansandra L. Book (1980), dalam Human Communication: Principles, Contexts, and Skills, mengemukakan agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: untuk mengenal dunia kita; berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Fungsi pertama bahasa ini jelas tidak terelakan. Melalui bahasa Anda mempelajari apa saja yang menarik minat Anda, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu yang tidak penah Anda temui, seperti bangsa Mesir kuno atau bangsa Yunani. Kita dapat berbagi pengalaman,  bukan hanya peristiwa masa lalu yang kita alami sendiri, tetapi juga pengetahuan tentang masa lalu yang kita peroleh melalui sumber kedua, seperti media cetak atau media elektronik. Kita juga menggunakan bahasa untuk memperoleh dukungan atau persetujuan dari orang lain atas pengalaman kita atau pendapat kita. Melalui bahasa pula Anda memperkirakan apa yang akan dikatakan atau dilakukan seorang kawan Anda, seperti dalam kalimat “ Kemarin kawan saya itu begitu marah kepada saya”. Meskipun gambaran kita mengenai masa depan tidak terlalu akurat, setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan, membicarakan dan mengantisipasi masa depan, misalnya apa yang akan terjadi terhadap manusia dan alam semestaa berdasarkan dugaan yang dikemukakan oleh para ahli ilmu pengetahuan dan orang bijak lainnya, juga berdasarkan wahyu Tuhan atau sabda Nabi.
            Fungsi kedua bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain, sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi sosial dan instrumental. Ringkasnya, bahasa memungkinkan kita bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita dan mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang sekitar kita. Seorang nyonya rumah dapat memerintahkan, “Tolong bawakan minuman buat saya” kepada pelayannya. Seorang kandidat dari sebuah partai politik dapat menyampaikan gagasannya, namun sekaligus juga membujuk rakyat untuk memilih partainya dan mempertimbangkan dirinya sebagai calon presiden yang potensial. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain bergantung tidak hanya pada bahasa yang sama, namun juga pengalaman yang sama dan makna yang sama yang kita berikan kepada kata-kita. Semakin jauh perbedaan antara bahasa yang kita gunakan dengan bahasa mitra komunikasi kita, semakin sulit bagi kita untuk mencapai saling pengertian. Meskipun orang Indonesia dan orang Malaysia berbicara bahasa Melayu, atau orang Amerika dan orang Inggris berbicara bahasa Inggris, mereka belum tentu mencapai kesepahaman, karena beberapa perbedaan yang ada dalam kedua bahsa tersebut.
            Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami mengenai diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita. Kita tidak mungkin menjelaskan semua itu dengan menyusun kata-kata secara acak, melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah kita sepakati bersama. Akan tetapi, kita tidak sebenarnya tidak dapat selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, oleh karena itu, meskipunbahsa merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, saran ini secara inheren mengandung kendala, karean sifatnya yang cair dan keterbatasannya. Seperti dikatakan S.I Hayakawa, “Kata itu bukan objek.” Bila orang-orang memaknai suatu kata secara berbeda, maka akan timbul kesalahpahaman di antara mereka.

C.    Komunikasi Verbal
Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy Mulyana, 2005). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.[2]
Verbal adalah pernyataan lisan antara manusia lewat kata-klata dan symbol umum yang sudah disepakati antar individu kelompok, bangsa dan Negara. Jadi, definisi komunikasi verbal; dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar di lakukan oleh manusia untuk berhubungan dengan manusia lain.
§  Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Kata-kata adalah abstraksi realitas individual yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas obyek atau konsep yang diwakili oleh kata-kata itu.
§  Bahasa adalah sistem kode verbal. Bahasa merupakan seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, obyek dan peristiwa.[3]
Beberapa komponen-komponen komunikasi verbal adalah: Suara, Kata-kata, Berbicara, dan Bahasa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi verbal:
§  Tekhnik.
Seberapa akurat komunikasi tersebut  mengirimkan simbol-simbol
§  Semantik.
Seberapa tepat simbol dalam mengirimkan pesan yang dimaksud
§  Pengaruh.
Seberapa efektif  arti yang diterima mempengaruhi tingkah laku [4]
Sealin itu, berikut ini beberapa hal yang penting dalam komunikasi verbal (Ellis & Nowlis-1994):
§  Penggunaan Bahasa
Perlu kejelasan, keringkasan, dan kesederhanaan
§  Kecepatan
Kecepatan akan mempengaruhi komunikasi verbal
§  Voice Tone
Menunjukkan gaya dari ekspresi yang digunakan dalam bicara dan dapat merubah arti dari kata [5]

D.    Keterbatasan Bahasa
            Keterbatasan bahasa adalah adanya perbedaan arti atas penamaan atas hambatan lain saat anda sedang melakukan komunikasi.[6]
Berbicara tentang komunikasi verbal, yang porsinya hanya 35 % dari keseluruhan komunikasi kita, banyak orang tidak sadar bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut:

1.      Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek
Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan dan sebagainya, tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas tetapi bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak. Oleh karena itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu objek. Misalkan, nama apa yang harus kita berikan pada sebuah benda yang bentuknya mirip pintu, tetapi berukuran kecil, misalnya 50cm x 20cm: pintu, pintu kecil, jendela, jendela kecil, lubang angin atau apa? Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung dikotomis (oposisi biner), misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, bahagia-sengsara, tebal-tipis dan sebagainya. Agar realitas yang kita ungkapkan lebih tepat, kita terkadang menggunakan kata penguat sangat atau sekali seperti dalam kalimat, “Aduh, pintar sekali orangnya,” atau kata pelemah kurang atau agak, seperti dalam kalimat,”Dia sih mahasiswa yang kurang pandai .” akan tetapi kategori-kategori ini tetap saja masih terbatas, tidak mungkin diterapkan kepada setiap orang, benda atau peristiwa yang kita temui.
Kesulitan menggunakan kata yang tepat juga kita alami ketika kita ingin mengungkapkan perasaan. Pesan verbal biasanya lebih lazim kita gunakan untuk menerangkan sesuatu yang bersifat faktual-deskriptif-rasional. Akan tetapi, untuk mengungkapkan sesuatu yang sangan afektif dan pribadi, kita biasanya lebih mengandalkan pesan nonverbal. Perasaan sayang seorang suami terhadap istrinya akan lebih bermakna bila diungkapkan dengan senyuman, atau sentuhan dari pada dengan kata-kata semata.
Keterbatasan jumlah kategori untuk menamai objek sebenarnya berfungsi untuk mengendalikan lingkungan kita, dan memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain dan berbagi pengalaman serta pengetahuan dengan mereka. Bayangkan betapa sulitnya kita berkomunikasi dengan orang lain kalau kita dibebani dengan kosa kata tentang warna yang terdiri dari ratusan nama warna apalagi ratusan ribu nama warna. Akan tetapi, penamaan suatu objek yang bersifat kira-kira itu sebenarnya sekligus merupakan hambatan bagi kita untuk berkomunikasi. Artinya, selalu ada perbedaan antara makana dalam kepala kita dengan makna dalam kepala orang lain , sekecil apapun perbedaan itu.

2.      Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata mempresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Konsep dan lain-lain (dll), dan sebagainya (dsb), dan seterusnya (dst), yang semacamnya, sedemikian rupa, hingga derajat tertentu kira-kira dan lebih kurang, sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada pernyataan yang dapat mewakili dunia nyata. Meskipun terdapat pengetahuan yang komprehensif mengenai suatu subjek, akan selalu ada hal lain atau hal baru untuk dipertimbangkan. Juga suatu gagasan dalam tanda petik (“...”) menunjukkan bahwa gagasan tersebut masih diragukan, atau tidak dianggap kebenaran mutlak. Kata-kata, selalu, sering, setiap orang, semua orang, dan dengan teratur, sebenarnya bersifat ambigu. Kata berat mempunyai makna yang nuansanya beraneka ragam, misalnya : Tubuh orang itu berat ; kepala saya berat ; dosen itu memberikan sanksi yang berat kepada mahasiswanya yang menyontek; dan sebagainya. Begitu juga kata panas, seperti dalam kalimat atau frase, “ Hari ini panas,” Kopi panas,” “Adik sakit panas,” dan sebagainya. Bahkan kata besar pun juga ambigu, seperti dalam dialog yang berasal dari kehidupan nyata berikut.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menggunakan kata-kata ambigu, termasuk eufemisme, seperti “Mari kita menyantap makanan laut “ketimbang” Mari kita menyantap makan ikan mati. Kata yang sama mungkin memiliki makna berbeda bagi orang-orang berbeda dan makna berbeda bagi orang yang sama dalam waktu berbeda. Suatu kata yang sama mungkin tidak tepat atau memberi makna aneh dan aneh dan lucu bila digunakan dalam konteks (kalimat) lain dengan pelaku yang berbeda, misalnya seperti dalam dialog berikut :
+ “Pak, apa kabar?”
-    “Aduh, (badan) saya lagi nggak enak, nih”
+ “ Ibu, bagaimana?”
-     “ Kalau ibu sih enak.”   
            Oleh karena kata-kata bersifat kontesktual, terkadang kita sulit mencari padanan suatu kata dalam bahasa lain. Contohnya, kata amis dalam bahasa Sunda berarti “manis” dalam bahasa Indonesia, namun manis disana merujuk pada manis menurut lidah, bukan manis menurut pandangan mata. Jadi tidaklah benar bila orang non-Sunda mengatakan, “ Ceweknya amis euy!” Dalam bahasa Sunda kata hareudang berarti “panas” (lebih tepatnya “gerah”). Jadi keliru bila orang non-Sunda mengatakan, “ Pisang gorengnya hareudang” (“Pisang gorengnya gerah”). Terjemahan kata “rumah” adalah house atau home dalam bahasa Inggris, bergantung pada konteksnya. House hanya sekedar benda, misalnya untuk dijual, seperti dalam kalimat the house is for sale, sedangkan home menunjukan rumah dan keluarga yang mengisinya (yang saling berhubungan dan menyayangi) seperti dalam kalimat I am going home.
            Ruang dan waktu mengubah makna kata. Menurut Hubert Alexander, makna harus dianggap sebagai proses ketimbang sesuatu yang statis. Kata-kata baru muncul, sementara kata-kata lama pelan-pelan menghilang, satu demi satu. Gaya bahasa yang dulu populer kini menjadi klise.
            Prinsip bahwa kata-kata bersifat kontekstual aebenarnya mengisyaratkan bahwa aturan-aturan baku dalam berbahasa tidaklah mutlak. Misalnya, kata-kata sifat dalam bahasa Indonesia umumnya dapat dibubuhi awalan ke dan akhiran an, seperti: adil menjadii keadilan; cantk menjadi kecantikan; jujur menjadi kejujuran’ marah menjadi kemarahan;pandai menjadi kepandaian. Namun prinsip itu tidak berlaku untuk kata sifat malu; malu menjadi rasa malu, bukan kemaluan.
            Seorang wanita Swedia mengajak seorang wanita Yogya untuk berenang, tetapi “Malu” jawab wanita Yogya itu. Wanita Swedia yang tengah belajar bahasa Indonesia di UGM itu lalu menjawab, “Datang saja. Nanti kalau sudah beberapa kali kemaluannya akan hilang.” Tentu saj kemaluannya tidak akan pernah hilang. Percakapan pun menjadi kocak. Wanita Swedia itu baru mendapat pelajaran tentang penggunaan kata benda dengan menggunakan awalan “ke” dan akhiran “an”.

3.      Kata-kata mengandung bias buadaya
            Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut Hipotesis Sapir Whorf, sering juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya untuk berfikir, melihat lingkungan dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda dan karenanya berperilaku secara berbeda pula. Hipotesis yang dikemukakan Benjamin Lee Whorf dan mempopulerkan serta menegaskan pandangan gurunya Edward Sapir ini menyatakan bahwa (1) Tanpa bahasa kita tidak dapat berfikir, (2) Bahasa mempengaruhi persepsi; dan (3) Bahasa mempengaruhi pola berfikir. Hipotesis Sapor-Whorf ini tampaknya sulit diuji. Sebabnya, pertama, kita sulit mendefinisikan berfikir, kedua, kita lebih sulit lagi menemukan orang yang tidak berbahasa, sebagai pembandingnya. Dengan kata lain, kita tidak punya cara menafsirkan realitas tanpa menggunakan bahasa.
            Hingga derajat tertentu, hipotesis Whorf-Sapir ini ada benarnya. Mereka mengasumsikan bahwa beberapa bahasa tidak mengandung kata-kata untuk objek-objek dalam bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Arab klasik, konon terdapat lebih dari 6.000 kata untuk melukiskan unta-warnanya, struktur tubuh, jenis kelamin, usia, gerak, kondisi dan perlengkapannya. Penduduk asli Sahara mempunyai 200 kata untuk melukiskan kurma, bahan pokok mereka dalam kehidupan dan 20 cara berbeda untuk melukiskan  bukit pasir. Hal ini juga mengisyaratkan arti penting objek-objek tersebut dalam budaya mereka. Kata rice dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi tiga kata yang maknanya berbeda dalam bahasa Indonesia, yakni gabah, beras, dan nasi. Ini menunjukkan bahwa kita orang Indonesia lebih peduli dari pada orang Inggris.
            Tingkatan-tingkatan bahasa dalam Jawa (kromo versus Ngoko misalnya) dan dalam bahasa Sunda menunjukkan alam pikiran  (baca: status sosial) yang berbeda pula bagi piha-pihak yang mengunakan bahasa tersebut. Sebagai contoh dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu: abdi, kuring, uing, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk orang kedua adalah: andika, anjeun, maneh, silaing dan sia. Kata makan dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Neda, untuk diri sendiri
            Tuang, untuk orang yang kita hormati
            Dahar, untuk teman sebaya yang sudah akrab atau bawahan/pembantu
            Nyatu, untuk hewan
            Emam, untuk anak kecil

4.      Percampuradukkan fakta, penafsiran, dan penilaian
            Dalam berbahasa kita sering mencampur adukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian. Masalah ini berkaitan dengan kekeliruan persepsi, misalnya apa yang tergambar dalam benak kita ketikapada hari kerja kita menemukan seorang pegawai di suatu perusahaan swasta sedang menutup wajahnya dengan selembar koran, dengan posisi duduk menyandar ke belakan. Kemungkinan besar kita akan langsung memberi penafsiran, misalnya “orang itu pemalas.” Padahal kalau kita tegur dia dengan tiba-tiba atau kita marahi dia, bukan tidak mungkin dia menjawab, “Saya sedang memikirkan suatu gagasan yang hebat bagaimana memajukan perusahaan kita. Saking kerasnya saya berfikir, saya sampai memejamkan mata dan menutup wajah saya dengan koran.”
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mencampuradukkan fakta dan dugaan. Banyak peristiwa yang kita anggap sebenarnya merupakan dugaan yang berdasarkan kemungkinan, misalnya, “Ani bingung (atau sedih, ngambek, bahagia).” Kebanyakan orang menganggap “Ani bingung” sebagai pernyataan fakta. Kalao kita Tanya penbicara, “Bagaiman kamu tahu?” ia mungkin akan menjawabnys, “Saya kan melihatnya!” Jawaban yang lebih akurat adalah: “Wajahnya merah ketika saya katakana padanya  bahwa Joko memperoleh nilai lebih tinggi daripada dia.” Jawaban itu lebih factual karena menguraikan perilaku yang mendasari dugaan Anda mengenai kemarahan Ani. Komunikasi kita akan lebih efektif kalau kita memisahkan pernyataan fakta dengan dugaan.
Bahasa dapat dipandang sebagai perluasan bahasa. Menurut hipotesis Sapir Whorf disebut teori relativitas linguistic untuk menegaskan hal tersebut, sang murid, Edward Sapir Whorf mengatakan bahwa:
§  Bahasa membuat kita berpikir
§  Bahasa mempengaruhi persepsi
§  Bahasa mempengaruhi pola berpikir

E.     Kerumitan Makna Kata
Sering kita bertanya, “Apa arti kata itu?” Kita menganggap bahwa arti atau makna dikandung disetiap kata yang kita ucapkan. Sebenarnya kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang member makna pada kata, dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bias berbeda-beda tergantung pada konteks ruang dan waktu. Bahkan, sebelum kita menanyakan makna suatu kata, kita terlebih dahulu harus menjawab pertanyaan, “Apakah makna dari makna?” Pertanyaan ini merupakan salah satu masalah besar dalm filsafat. R. Brown mendefinisikan makan sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.[7] Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat. Dengan kata-kata Brown, Seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu. Konsep makna itu sendiri memiliki berbagai makna tanpa ada satu makna pun lebih “benar” dari makna yang lainnya. Seperti kata-kata lainnya, makna mempunyai beberapa definisi. Salah satu alasan terdapatnya berbagai makna dari makna adalah masalh lokasi: “Dimana lokasi makna?”
Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi, tidak ada hubungan langsung antara suatu objek dan symbol yang digunakan untuk merepresentasikannya. Ketika kita mengatakan “Saya sakit perut,” misalnya, pengalamn itu nyata, tetapi tidak seorangpun dapat merasakan rasa sakit itu, bahkan dokter yang berusaha mengobati rasa sakit kita. Jadi hubungan itu diciptakan dalam pikiran si pembicara.
Semantic adalah ilmu mengenai makna kata-kata, suatu definisi yang menurut S.I Hayakawa tidaklah buruk bila orang-orang tidak menganggap bahwa pencarian makan kata mulai dan berakhir dengan melihatnya dalam kamus. Makna dalam kamus tentu saja lebih bersifat kebahasaan (linguistik), yang punya banyak dimensi: symbol merujuk pada objek di dunia nyata; pemahaman adalah perasaan subjektif kita mengenai symbol itu; dan referen adalah objek yang sebenarnya eksis di dunia nyata. Padahal disamping itu, terdapat pula makna kata yang  bersifat filosofis, psikologis, dan logis.
Makna dapat pula digolongkan ke dalam: makna denotif dan makna konotatif. Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya (faktual), seperti yang kita temukan dalam kamus. Karena itu, makna denotatif lebih bersifat publik. Sejumlah kata bermakna denotatif, namun banyak juga yang bersifat konotatif, lebih bersifat pribadi yakni makna di luar rujukan objektifnya. Dengan kata lain, makna konotatif lebih bersifat subjektif dan emosional daripada makna denotatif.[8]
Kita merasa pramuniaga  itu lebih bergengsi daripada pelayanan took, sebagaiman kita merasa tunawisma lebih baik daripada gelandangan. Makna denotative dan makna konotatif itu menjadi lebih rumit lagi bila kita mempertimbangkan budaya yang berbeda. Chair dalam bahasa Inggris berarti kursi yang pada dasarnya denotative bagi orang berbahsa Inggris. Namun bagi orang Indonesia yang gila jabatan, kata kursi berkonotasi lebih kuat daripada kata chair bagi orang Amerika yang punya kecenderungan yang sama.
Symbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakan sekelompok orang. Karena itu makan ada di kepala bukan pada lambing, tetapi kita sering merespon suatu kata seakan-akan kata adalah objek yang diwakili kata tersebut. Misalnya, tiba-tiba kita merasa takut ketika mendengar kata kalajengking, ular, atau harimau. Dalam komunikasi, harus realistik dan memperhatikan bagaimana symbol mempengaruhi perilakualih-alih membuang waktu bagaimana menjinakkan kekuatan kata-kata. Betapapun, jika kata-kata tidak membawa makna kepada kita dan jika kita tidak bereaksi terhadap kata-kata, kata-kata itu tidak berguna, symbol mempunyai impale motif karena symbol dipasangkan dengan referen.
Kata-kata tidak bermakna dengan sendirinya, melainkan bila kita memaknai kata tersebut. Kata-kata bukanlah objek yang diwakilinya, jadi ketika kita berbicara dengan orang lain, kita hanya menyampaikan kata-kata bukan makna. Kata-kata merangsang makna yang dianut orang lain terhadap kata-kata itu. Pembicaraan akan berjalan lancar bila makan yang kita berikan terhadap kata-kata mirip dengan makna yang diberikan orang lain terhadap kata-kata yang sama. Pada kenyataanya tidak selau demikian, boleh jadi suatu kata yang sama merujuk pada objek yang berbeda, atau kata-kata yang berbeda merujuk pada objek yang sama di dua daerah yang berbeda. Kata taksi yang di Jakarta atau Bandung biasanya berarti sedan sewaan, adalah sebutan untuk angkot (angkutan kota) di beberapa daerah lain di Indonesia seperti di Kuningan, Tasikmalaya, Palembang, Pontianak, Bengkulu, dan Papua. Sedangkan di Mataram, Lombok, Denpasar, dan di Kupang (NTT) kata bemo digunakan untuk merujuk pada angkot beroda empat ini. Di Jakarta, Bekasi dan Kediri angkot ini disebut mikrolet sedangkan di Banda Aceh disebut labi-labi.
Banyak teoritikus bahasa mengemukakan bahwa kebanyakan kata mempunyai makan majemuk. Setiap kata dari kata-kata seperti: merah, kuning, hitam dan putih mempunyai makna (konotatif) yang berlainan. Sebagai ilustrasi, 500 kata dalam bahasa Inggris paling sering digunakan memiliki setidaknya 14.000 definisi yang berbeda. Dalam Roget’s Thesaurus, terdapat kira-kira 12 sinonim kata untuk hitam, dan setidaknya 60% dari jumlah itu bersifat ofensif, termasuk “noda”, “jelaga”, “iblis”, “curang”; juga terdapat kira-kira 134 sinonim kata untuk putih, dan semua artinya positif seperti “murni”, “bersih”, dan “suci”. Jadi, kata hitam umumnya berkonotasi negatif, sedangkan kata putih berkonotasi positif.
Kata-kata boleh jadi terus berevolusi, dengan makna yang terus juga berubah. Sebagian kata menghilang, sejumlah kata baru muncul. Situasi-situasi baru menciptakan makna-mana baru.

1.      Bahasa Daerah vs Bahasa Daerah
Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalhpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya awak untuk orang Minang berarti “saya” atau “kita”, sedangkan dalam bahasa Melayu (di Palembang, Malaysia dan Singapura misalnya) berarti “kamu”. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi bila orang Minang dan orang Malaysia sama-sama menggunakan kata awak.
Terdapat sejumlah kata yang sama dalam bahasa Sunda dan Jawa, namun mempunyai arti yang berbeda. Kata sare (tidur) dan dahar (makan) yang merupakan kata halus untuk orang tua dalam bahasa Jawa, ternyata hanya boleh digunakan untuk teman sebaya yang sudah akrab atau bawahan di daerah Sunda. Kata cokot dalam bahasa Sunda berarti “ambil”, namun dalam bahasa Jawa berarti “gigit”. Kata amis  dalam bahasa Sunda yang artinya “manis” berarti “anyir” dalam bahasa Jawa.

2.      Bahasa Daerah vs Bahasa Indonesia
Sejumlah kata dari bahasa daerah juga digunakan dalam bahasa Indonesia (atau bahasa Indonesia dalam dialek Betawi), atau sebaliknya, kata-kata Indonesia terdengar seperti deselipkan dalam bahada daerah, namun artinya sangat jauh berbeda. Misalnya, kata sok dalam bahasa Sunda sering sering disalahtafsirkan oleh orang non-Sunda. Dalam bahasa Betawi atau bahasa Indonesia sok itu berarti sombong, seperti dalam kalimat “Orangnya paling sok”. Berbeda dengan arti sok dalam bahasa Sunda yang berarti “Silahkan”. Kata bola dalam bahasa Sunda berarti “benang”, kata mangga dalam bahasa Indonesia adalah buah dalam bahasa Sunda. Orang-orang dari suatu suku yang datang ke daerah lain, untuk tinggal sementara atau selamanya pada  awalnya mungkin akan menemukan kesulitan dalam adaptasi mereka. Eperti tergambar dalam ilustrasi berikut:
Seorang lelaki Jakarta berkunjung ke Makasar. Suatu hari ia memasuki sebuah restoran. Maka terjadilah dialog seperti ini.
Pelayan restoran          : Makan apa, Pak?
Lelaki Jakarta              : “Bolu”
Pelayan restoran          : Lainnya?
Lelaki Jakarta              : “Bolu doang”
Pelayan restoran          : Minumnya?
Lelaki Jakarta              : “Teha aja”
Pelayan restoran          : Mm, jadi the atau kopi?
Lelaki Jakarta              : “Teh dong”
Maka jangan marah apabila pelayan menghidangkan masakan yang terdiri dari bandeng, udang dan daging kerbau. Karena dalam bahasa Makasar, bolu berarti “bandeng” tedong berarti “udang” dan teaja berarti “tidak mau”.
Orang-orang jawa yang dibesarkan diluar daerah kelahiran mereka termasuk pujakesuma (putera Jawa kelahiran Sumatera) yang tidak bias berbahasa Jawa, ketika merayakan idul Fitri di Jawa pasti terheran-heran ketika setiap orang yang menyalami meraka mengucapakan Sugeng Riyadi. Kok namaya semua. Ternyata artinya Selamat Hari Raya.

3.      Bahasa Indonesia vs Bahasa Malaysia
Suatu bangsa atau suku biasanya menganggap bahasanya sendiri sebagai yang terbaik dan menganggap bahasa lain tidak alamiah baik cara bicara ataupun kata yang diucapkan. Mengapa mereka tidak menggunakan kata-kata yang benar untuk mmenyebut segala sesuatu? Maka jangan heran jika ada orang Malaysia berkata “Sepasang kelammin tinggal di rumah itu”, sepasang kelamin berarti “sepasang suami istri”, “mari kita tengok wayang” (wayang = film). Ketika kita berkomunikasi dengan orang Malaysia, terutama untuk pertama kalinya kesalahpahaman mungkin tak dapat dihindarkan seprti ilustrasi berikut:
Seorang peserta Indonesia yang pernah mengikuti uatu konferensi di Malaysia menuturka pengalaman lucunya. Ketika rombonan baru tiba di hotel, ia mendapat pesan telepon yang berbunyi “seluruh peserta konferensi dari Indonesia  di jemput ketempat panitia pukul 20.00”. berita tersebut langsung disampaikan kepada teman-teman lainnya. Tepat pukul 20.00 mereka siap menunggu di lobi hotel , tetapi sampai pukul 21.00 jemputan juga belum dating. Lalu salah seorang dari mereka menelpon panitia. Seusai menelpon, orang it uterus tertawa, membuat orang lain bingung. Ia menjelaskan bahwa mereka semua yang salah, bukan panitia. Dala bahasa Malaysia, ternyata dijemput berarti “diundang”.
Perhatikan dialog antara orang Indonesia dan orang Malaysia berikut ini:
Malaysia          : awak punya kereta pribadi ?
Indonesia        : Tidak, orang Indonesia tidak punya kereta pribadi, karena itu milik pemerintah.
Malaysia          : Bagaimana mungkin? Itu kereta yang dikemudian adikmu, bukankah miliknya? (oh, ternyata itu maksudnya kereta)

Berikut sejumlah kata Malaysia bersama sinonimnya dalam bahasa Indonesia, yang dapat menimbulkan kesalah pahaman.
Bahasa Malaysia
Bahasa Indonesia
Batu
Mil
Bilik
Kamar
Budak
Anak
Comel
Lucu, cantik
Cuai
Ceroboh
Dikacau
Diaduk
Cermin mata
Kacamata
Kasut
Sepatu
Mangga
Kunci gembok
Padang letak kereta
Tempat parkir mobil
Pejabat
Gedung, kantor
Kereta
Mobil
Percuma
Gratis
Pintu kecemasan
Pintu darurat
Pusing-pusing
Berkeliling, berputar
Sehala
Satu arah, satu jalur
Seronok
Bagus, menyenagkan, meriah
Tambang
Ongkos
Tandas
WC
Tewas
Kalah
Tidak boleh tidur
Tidak dapat tidur
Ganja
Dadah, salam perpisahan

Banyak kata Malaysia diadopsi dari bahasa Inggris seperti: university, fesyen (fashion), komen (comment), dan tai (tie).




4.      Bahasa Daerah/Bahasa Indonesia vs Bahasa Asing Lainnya
Terkadang kita menemukan kata-kata dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia yang sama atau mirip dengan kata-kata asing, tetapi dengan makna yang berbeda. Mungkin kkita akan geli membaca atau mendengar kata-kat tersebut.
Dalam bahasa Filipina kata bawal berarti “dilarang”, bagong berarti “baru”, balita berarti “berita”. Jadi, magandang balita itu berarti berita baik.
Sepupu saya baru pulang dari jepang. Ia bercerita bahwa seorang teman pria Jepang bertanya macam-macam tentang Indonesia, lalu menunjuk cincin yang dipakainya. Apa bahasa Indonesianya ini? Cincin jawabnya. Teman yang orang Jepang agak tersipu. Kemudia sepupu saya bertanya lagi, kenapa? Tidak apa-apa, jawabnya. Lalu teman pria itu bertanya, apa kamu suka cincin? Tentu saja. Memengnya kamu mau membelikan saya cincin? Sahut sepupu saya. Temannya tertawa terbahak-bahak. Kalau kamu mau, sekarang juga akan saya kasih. Sepupu saya mulai merasa heran. Maka ia pun bertanya. Sebenarnya dalam bahasa Jepang cincin artinya apa? Laul temannya menjelaskan cincin dalam bahsa Jepang berarti alat kelamin laki-laki. Setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak.

F.     Nama sebagai Simbol
Fungi pertama bahasa adalah penamaan. Nama diri sendiri adalah symbol pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu atau sebagai hoki. Nama pribadi adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengannama dan baru diikuti dengan atribut lainnya. Nama yang kita terima sejak lahir tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk memperlakukan kita dan terpenting mempengaruhi  kita dalam mempersepsi diri sendiri.
Nama adalah bagian dari konsep diri yang sangat penting. Bahkan nama menunjukkan kesadaran seseorang. Perubahan nama orang yang tadinya non-Muslim menjadi Muslim adlah suatu pertanda perubahan jati dirinya dan hubungannya dengan alam semesta.
Nama jelas bersifat simbolik. Nama yang dianggap bagus atau keren menimbulkan kesan yang positif pada pendengar atau pembaca nama itu. Suatu penelitian menemukan bahwa orang bernama Jhon dipersepsi sebagai orang yang ramah dan dapat dipercaya, James, Michael, Wendy sebagai orang yang aktif.
Terdapat bukti bahwa nama yang lazim memberi kesan lebih baik daripada nama yang kurang lazim. Suatu penelitian menemukan bahwa guru-guru cenderung terpengaruh oleh nama.
Pemilihan nama ditentukan oleh faktor agama. Selain itu karena nama tersebut unik atau nama tokoh favorit dan peristiwa penting saat kelahiran seperti nama berbau milenium yaitu Millenio. Tetapi nama tokoh politik seperti Megawati, Amin Rais, dan lain-lain jarang dipilih. Berbagai cara digunakan oleh suatu budaya untuk memberi nama seorang anak yang lahir. Di Bali, urutan seoranga anak dalam diketahui berdasarkan  namanya: Wayan, Made, Nyoman, Ketut. Masing-masing anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Nama hewan pun dapat berfungsi sebagai symbol. Burung merak melambangkan keindahan dan keanggunan. Bunglon melambangkan orang yang plinplan. Bebek melambangkan  orang yang selalu patuh dan mengekor pendapat orang lain. Belut melambangkan orang yang licik dalam berdagang dan berpolitik. Ayam melambangkan orang yang penakut dan lembek.
Penamaan seseorang ternyata tidak sederhna. Nama dapat juga  menyusahkn penyandangnya. Orang yang bernama Muhammad, Khadijah mungkin akan terbebani jika mereka melakukan sifat yang buruk. Sementara julukan yang tidak tepat akan timbul “nubuat yang dipenuhi diri sendiri”.

G.    Bahasa Gaul
1.      Asal-usul  Bahasa Gaul
Sejumlah kata atau istilah mempunya arti khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan arti yang lazim ketika digunakan oleh orang-orang dari subkultur tertentu, bahasa Subkultur ini disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul atau argot.
Bahasa gaul sebenrnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istila-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakn obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lam istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.
Bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.[9]
Akar dari bahasa gaul adalah bahasa prokem. Kata prokem sendiri merupakan “bahasa gaul preman”. Bahasa ini awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang, mereka merancang kata-kata baru dengan cara antara lain mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distrubusi fonem,  penambahan awalan, sisipan, atau akhiran.
Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi mererka itu di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti yang mereka maksud. Artinya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidal lagi menjadi bahasa rahasia. Kalau enggak percaya coba deh Tanya bokap atau nyokap kita, tahu engga mereka dengan istilah moakal,mokat, atau bokin. Kalau mereka engga mengerti artinya berarti di masa mudanya dulu mereka bukan anak gaul.
Dengan motif yang lebih kurang sama dengan dengan preman, kaum waria juga menciptakan sendiri bahasa rahasia mereka. Sampai sekarang kita masih sering mendengar istilah “bencong” untuk menyebut seorang banci? Nah, kata bencong itu sudah ada sejak awal 1970-an juga, ya hampir beramaan deh dngan bahasa prokem. Pada perkembangannya, konon para waria atau banci inilah yang paling rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian memperkaya bahasa gaul.
Kosakata bahasa gaul yang berkembang  belakangan ini sering enggak beraturan alias engga ada rumusnya. Sehingga kita perlu menghafal setiap kali muncul istilah baru. Misalnya untuk sebuah lawakan yang engga lucu, kita bias menyebutnya garing atau jayus. Ada juga yang menyebut jasjus. Untuk sesuatu yang engga oke, biasa kita sebut cupu. Jayus dan cupu bias dibilang kosa kata baru.

2.      Pengertian Bahasa Gaul
Menurut Wikipedia bebas-hasil dari penelusuran situs google mengatakan bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem adalah ragam bahasa Indonesia non standar yang lazim digunakan di Jakarta pada tahun 1970-an yang kemudian digantikan oleh ragam yang disebut sebagai bahasa gaul. Bahasa prokem ditandai oleh kata-kata Indonesia atau kata dialek Betawi yang dipotong dua fonemnya yang paling akhir kemudian disisipi bentuk -ok- di depan fonem terakhir yang tersisa. Misalnya, kata bapak dipotong menjadi bap, kemudian disisipi -ok- menjadi bokap. Diperkirakan ragam ini berasal dari bahasa khusus yang digunakan oleh para narapidana. Seperti bahasa gaul, sintaksis dan morfologi ragam ini memanfaatkan sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia dan dialek Betawi.[10]
Bahasa gaul atau argot atau bahasa prokem adalah penggunaan kata-kata dalam bahasa yang tidak resmi dan ekspresi yang bukan merupakan standar penuturan dialek atau bahasa.[11] Kata dalam bahasa gaul biasanya kaya dalam domain tertentu, seperti kekerasan, kejahatan dan narkoba dan seks.
Bahasa prokem ini mengalami pergerseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa gaul. Dalam konteks kekinian, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (contohnya, kalangan homo seksual atau waria). Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama “Kamus Bahasa Gaul” pada tahun 1999.
Meskipun bahasa gaul sebenarnya merujuk kepada bahasa khas yang digunakan setiap komunitas atau subkultur apa saja, bahas gaul lebih sering merujuk pada bahasa rahasia yang digunakan dalam kelompok yang menyimpang, seperti kelompok preman, kelompok penjual narkotika, kaum homoseksual/lesbian, pelacur, dsb.
Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkngan  social bahkan dalam media-media popular seperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan sering pula digunakan dalam bentuk publikasi-publikasi yang ditunjukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja popular.
Bahasa gaul umumnya digunakan di lingkungan perkotaan. Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan dari bahasa gaul bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat. Perbendaharaan kata dalam bahasa gaulnya banyak mengandung kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa sunda.
Cara pengucapan bahasa gaul dilafalkan sama seperti halnya bahasa Indonesia. Kosakata-kosakata yang meminjam dari bahasa lain seperti bahasa Inggris atau bahasa Belanda di transliterasikan pengucapannya, contohnya, ‘please’ ditulis sebagai plis.
Struktur dan tata bahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa Indonesia, dalam banyak kasus kosakata yang dimilikinya hanya merupakan singkatan dari bahasa indonesianya. Perbedaan utama bahasa formal (Indonesia) dengan bahasa gaul utamanya adalah dalam perbendaharaan kata.

3.      Ciri-ciri Bahasa Gaul

Berikut ini beberapa ciri dari bahasa  gaul:[12]

1)      Kosakata khas: berkata → bilang, berbicara → ngomong, cantik →kece, dia → doi, doski, kaya →tajir, reseh →berabe, ayah → bokap, ibu → nyokap, cinta →cintrong, aku →gua, gue, gwa, kamu → lu, lo, elu, dll.
2)      Penghilangan huruf (fonem) awal: sudah → udah, saja → aja, sama → ama, memang → emang, dll.
3)      Penghilangan huruf “h”: habis → abis, hitung → itung, hujan → ujan, hilang → ilang, hati → ati, hangat → anget, tahu → tau, lihat → liat, pahit → pait, tahun → taon, bohong → boong, dll.
4)      Penggantian huruf "a" dengan "e": benar → bener, cepat → cepet, teman→ temen, cakap → cakep, sebal → sebel, senang → seneng, putar → puter, seram →serem.
5)      Penggantian diftong "au", "ai" dengan "o" dan "e": kalau → kalo, sampai → sampe, satai → sate, gulai → gule, capai → cape, kerbau → kebo, pakai → pake, mau (bukan diftong) → mo, dll.
6)      Pemendekan kata atau kontraksi dari kata/frasa yang panjang: terima kasih → makasi/trims, bagaimana → gimana, begini → gini, begitu → gitu, ini → nih, itu → tuh.



Pengunaan Imbuhan
1)      Peluluhan sufiks me-, pe- seperti: membaca → baca, bermain → main, berbelanja → belanja, membeli → beli, membawa → bawa, pekerjaan → kerjaan, permainan → mainan, dst.
2)      Penggunaan akhiran "-in" untuk menggantikan akhiran "-kan": bacakan → bacain, mainkan → mainin, belikan → beliin, bawakan → bawain, dst.
3)      Nasalisasi kata kerja dengan kata dasar berawalan 'c': mencuci → nyuci, mencari → nyari, mencium → nyium, menceletuk → nyeletuk, mencolok → nyolok
4)      Untuk membentuk kata kerja transitif, cenderung menggunakan proses nasalisasi. Awalan "me-", akhiran "-kan" dan "-i" yang cukup rumit dihindarkan.
§  Proses nasalisasi kata kerja aktif+ in untuk membentuk kata kerja transitif aktif: memikirkan→ mikirin, menanyakan → nanyain, merepotkan → ngerepotin, mengambilkan → ngambilin
§  Bentuk pasif 1: di + kata dasar + in: diduakan → diduain, ditunggui → ditungguin, diajari → diajarin, ditinggalkan → ditinggalin
§  Bentuk pasif 2: ke + kata dasar yang merupakan padanan bentuk pasif "ter-" dalam bahasa Indonesia baku: tergaet → kegaet, tertimpa → ketimpa, terpeleset → kepeleset, tercantol → kecantol, tertipu → ketipu, tertabrak → ketabrak

4.      Contoh Bahasa Gaul
Kebanyakan partikel mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati/ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat
tersebut diucapkan.
§  Deh/ dah(Bagaimana kalau ...)
Coba dulu deh. (tidak menggunakan intonasi pertanyaan) - Bagaimana kalau dicoba dulu?
§  Dong(Tentu saja ...)
Sudah pasti dong. – Sudah pasti / Tentu saja.
Mau yang itu dong – Tentu saja saya mau yang itu.
§  Eh(Pengganti subjek, sebutan untuk orang kedua…)
Eh, namamu siapa? - Bung, namamu siapa?
Eh, ke sini sebentar. - Pak/Bu, ke sini sebentar.
Ke sini sebentar, eh. - Ke sini sebentar, Bung.
§  Kan(Kependekan dari 'bukan', dipakai untuk meminta
pendapat/penyetujuan orang lain (pertanyaan)…)
Bagus kan? - Bagus bukan?
Kan kamu yang bilang? -Bukankah kamu yang bilang demikian?
Dia kan sebenarnya baik. -Dia sebenarnya orang baik,bukan?
§  Kok(Kata tanya pengganti 'Kenapa (kamu)'…)
Kok kamu terlambat? – Kenapa kamu terlambat?
§  Lho/Loh(Kata seru yang menyatakan keterkejutan. Bisa digabung dengan kata tanya. Tergantung intonasi yang digunakan, partikel ini dapat mencerminkan bermacam-macam ekspresi…)
Lho, kok kamu terlambat? -Kenapa kamu terlambat? (dengan ekspresi heran)
Loh, apa-apaan ini! – Apa yang terjadi di sini? (pertanyaan retorik dengan ekspresi terkejut/marah)
§  Nih(Kependekan dari 'ini'…)
Nih balon yang kamu minta. -Ini (sambil menyerahkan barang). Balon yang kamu minta.
Nih, saya sudah selesaikan tugasmu. - Ini tugasmu sudah saya selesaikan.
§  Sih(Karena ...)
Dia serakah sih. - Karena dia serakah. (dengan ekspresi mencemooh)
Kamu sih datangnya terlambat .- Karena kamu datangterlambat. (dengan ekspresi menyesal)
§  Tuh/ tu(Kependekan dari 'itu', menunjuk kepada suatu objek…)
Lihat tuh hasil dari perbuatanmu. - Lihat itu, itulah hasil dari perbuatanmu.
Tuh orang yang tadi menolongku. - Itu lihatlah, itu orang yang menolongku.
§  Yah(Selalu menyatakan kekecewaan dan selalu digunakan di awal kalimat atau berdiri sendiri….)
Yah, Indonesia kalah lagi -Indonesia kalah lagi (dengan ekspresi kecewa)
Bahasa gaul  dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis lagi, ada yang disebut bahasa gaul kaum selebritis, kaum gay dan lesbian atau kaum waria. Bahasa ini digunakan untuk memproteksi kelompok mereka dari komunitas lain. Sehingga komunikasibyang mereka lakukan, hanya kelompok mereka saja yang mengerti.[13]
1)      Bahasa kaum selebritis
Perhatikan kata-kata yang sering digunakan oleh kalangan selebritis dalam bahasa gaul yaitu:
  • Baronang      = baru
  • Cinewinek    = cewek
  • Pinergini      =  pergi
  • Ninon tinon  = nonton
2)      Bahasa gay dan bahasa waria
Di negara kita bahasa gaul kaum selebritis ternyata mirip dengan bahasa gaul kaum gay    (homoseksual) dan juga bahasa gaul kaum waria atau banci. Sekelompok mahasiswa saya dari Fikom Unpad, berdasarkan penelitian mereka atas kaum gay di Bandung menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya adalah:
§  Cinakinep = Cakep
§  Duta          = Uang
§  Kemek      = Makan
§  Linak        = Laki-laki
§  Maharani  = Mahal
§  Jinelinek   = Jelek
3)      Bahasa kaum waria
Bahasa adalah sebagian dari bahasa gaul yang dianut sebuah komunitas banci (waria), seperti yang diperoleh sekelompok mahasiswa berdasarkan wawancara dengan seorang waria.
  • Akika/ike  = aku
  • Bis kota    = besar
  • Cakra       = ganteng
  • Cucux      = cakep/keren
  • Diana       = dia
  • Inang       = Iya

H.    Ragam Bahasa Inggris
1.      Makna Bahasa Inggris
Bahasa Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulis. Berkomunikasi adalah memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah kemampuan berwacana, yakni kemampuan memahami dan/atau menghasilkan teks lisan dan/atau tulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan inilah yang digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, mata pelajaran Bahasa Inggris diarahkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut agar lulusan mampu berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Inggris pada tingkat literasi tertentu.
 Tingkat literasi mencakup:
§  Pada tingkat performatif
§  Orang mampu membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan.
§  Pada tingkat Fungsional
§  Orang mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti membaca surat kabar, manual atau petunjuk.
§  Pada tingkat Informasional
§  Orang mampu mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa
§   tingkat epistemik
§  Orang mampu mengungkapkan pengetahuan ke dalam bahasa sasaran

2.      Ruang Lingkup Bahasa Inggris
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Inggris meliputi:
1)      Keterampilan berbahasa, yakni mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis
2)      Kompetensi yang meliputi kompetensi tindak bahasa,linguistik (kebahasaaan),sosiostruktural,strategi,dan kompetensi wacana
3)      Pengembangan sikap yang positif terhadap bahasa Inggris sebagai alat komunikasi
Berkomunikasi dalam bahasa Inggris lisan maupun tulis secara lancer dan akurat sesuai dengan konteks sosialnya.


a.      Mendengarkan
Memahami makna (interpersonal,ideasional,tekstual) dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan linguistik tertentu.
b.      Berbicara
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal,ideasional,tekstual) dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan linguistik tertentu.
c.       Membaca
Memahami berbagai makna (interpersonal,ideasional,tekstual) dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan linguistik tertentu.
d.      Menulis
Mengungkapkan berbagai makna (interpersonal,ideasional,tekstual) dalam berbagai teks lisan yang memiliki tujuan komunikatif,struktur teks,dan linguistik tertentu.

3.      Ragam Bahasa Inggris
Bahasa Inggris yang lebih universal pun ternyata tidak konsisten dalam ejaannya,pilihan kata dan juga maknanya. Bahasa Inggris telah berkembang menjadi beberapa ragam,antara lain seperti :
§  Inggris-Inggris (British-English)
§  Inggris-Amerika
§  Inggris-Australia
§  Inggris-Filipina
§  Inggris-Singapura

4.      Contoh Berkomunikasi dalam Bahasa Inggris
Dikalangan pengajar Bahasa Inggris muncul pertanyaan tentang pengucapan bahasa Inggris yang mana harus diajarkan kepada muridnya.
Orang Inggris menggunakan kata knock up yang berarti mengunjungi tetapi di Amerika kata tersebut berarti menghamili. Mahasiswi Amerika yang mendengar kalimat “I will knock you up tomorrow morning!” yang diucapkan ole seorang pria Inggris yang baru dikenalnya di asrama mahasiswa internasional, tentu saja akan kaget bukan kepalang.
Kalau diperhatikan secara seksama, banyak perbedaan antara ragam Inggris-Ingggris dan Inggris-Amerika dalam aspek lainnya, bukan hanya pilihan kata, struktur bahasa, tetapi juga intonasi dan gaya berbicara pada umumnya. Misalnya, ketika orang Inggris tidak setuju dengan seseorang, mereka lazim berkata, “I may be wrong, but …” (“Mungkin saya kelitu, tetapi …”) atau “There is just one thing in all that you have been saying that sorries me a little …” (“Ada satu hal saja dalam semua yang anda katakan yang sedikit mengkhawatirkan saya …”).
Orang Inggris biasanya berbicara dengan berbunga-bunga, banyak eufimisme, dan “sok gentleman”. Orang Amerika berbicara langsung dan lugas, dengan mulut yang terbuka lebar, sedangkan orang Australia berbicara dengan bukaan mulut yang lebih sempit.

I.       Pengalihan Bahasa
Komunikasi dalam bahasa yang sama dapat menimbulkan salah pengertian apalagi bila kita tidak dapat menguasai bahasa lawan bicara kita. Untuk melakukan komunikasi yang efektif, kita harus menguasai bahasa mitra komunikasi kita. Dalam konteks inilah kita setidaknya perlu menguasai bahasa Inggris (sebagai bahasa internasional) untuk menjadi seorang komunikator yang efektif.
Perbedaan bahasa dapat menimbulkan kesulitan lebih jauh daripada sekedar kekeliruan penerjemahan. Kita sering sulit menerjemahkan sebuah kata ke bahasa lain, karena tidak ada padanannya ke dalam bahasa lain itu, meskipun kita bisa mengira-ngira artinya. Bahkan ketika kita mampu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan kecermatan yang harfiah, maknanya yang dalam sering hilang karena makna tersebut berakar dalam budaya bahasa tersebut.

J.      Komunikasi Konteks Tinggi Vs Komunikasi Konteks Rendah
Edward T. Hall (1973) membedakan komunikasi konteks yaitu:
1.      Komunikasi budaya konteks-tinggi (high-context culture)
Budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi konteks-tinggi: kebanyakan pesan bersifat implicit, tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda dan sebagainya). Maka anggota-anggota budaya konteks-tinggi lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan dalam membaca lingkungan.
Contohnya adalah komunikasi orang kembar dengan menggunakan kalimat pendek-pendek atau kata-kata singkat. Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah tahan lama, lamban berubah, mengikat kelompok yang menggunakannya.

2.      Komunikasi budaya konteks rendah (low-context culture)
Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Para penganut budaya konteks-rendah ini mengatakan apa yang mereka maksudkan (they say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka katakana (they mean what they say). Bila mereka mengatakan “yes”, itu berarti mereka benar-benar menerima atau setuju. Contohnya adalah komunikasi (program) computer. Setiap pesan harus dispesifikasikan dengan kode-kode tertentu; kalau tidak, programnya tidak akan jalan.
Bernstein, dalam komunikasi konteks-tinggi, pembicara menggunakan sedikit alternative, tetapi kemungkinan meramalkan polanya lebih besar; arti pesanpun lebih khusus. Sebaliknya dalam komunikasi koneks-rendah, pembicara akan memilih pesan dari sejumlah alternative yang relative banyak, dan oleh karena itu kemungkinan meramalkan hasil pesan akan berkurang, tetapi menjamin pengertian yang lebih universal.
Secara garis besar, urutan sejumlah Negara berdasarkan tingkat budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya konteks-tinggi), menurut Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss, Jerman, Skandinavia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan Jepang. Indonesia termasuk budaya konteks-tinggi dan mungkin berada di antara budaya Arab dan budaya Cina.
Sebagai ilustrasi, jika kita mengajak orang Indonesia makan mereka akan menjawab,”aduh,sudah tadi” atau “terima kasih, masih kenyang.” Akan tetapi perutnya keroncongan,dalam hati ia berharap tuan rumah akan mengajaknya lagi dan lagi,hingga akhirnya “apa boleh buat,ia makan juga.” Jadi bahasa mereka tidak langsung.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut Larry L. Barker (dalam Deddy Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Deddy Mulyana, 2005). Beberapa komponen-komponen komunikasi verbal adalah: Suara, Kata-kata, Berbicara, dan Bahasa.
Keterbatasan bahasa adalah adanya perbedaan arti atas penamaan atas hambatan lain saat anda sedang melakukan komunikasi.
Makna kata itu sendiri diklarifikasikan menjadi 2 Dua yaitu: Makna Denotif: Makna yang sebenarnya (factual) dan bersifat public dan Makna konotatif: Makna yang subjektif dan bersifat emosional. Kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. kitalah yang memberi makna pada kata dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, bergantung pada konteks ruang dan waktu.
Di Indonesia juga kita meneganal istilah bahaa gaul sebagai salah satu sarana komunikasi verbal yang belakngan ini banyak digunakan. Bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/ pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.
Bahasa prokem merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan anak-anak remaja. Istilah ini muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu ia dikenal sebagai 'bahasanya para bajingan atau anak jalanan' disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman.

B.     Saran
Komunikasi verbal merupakakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan, komunikasi verbal lebih meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi. Namun belakangan ini hal itu justru sering terjadi, ini dikarenakan keanekaragaman bahasa daerah yang kita miliki. Untuk itu, kita sebagai generasi muda diharuskan mempelajari bahasa pemeratu yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentunya dengan makna yang sesuai dengan EYD tanpa mencampur adukkan dengan makna dalam bahasa daerah. Dengan demikian diharapkan dapat menghindari kesalahan dalam berkomunikasi.
Di Indonesia juga kita mengenal istilah bahasa gaul atau bahasa prokem yang banya digunakan oleh masyarakat khususnya anak muda untuk berkomunikasi dalam lingkungan pergaulannya. Pengaruh bahasa gaul lebih banyak terjadi di perkotaan dan menimbulkan generasi muda kurang memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan mereka cenderung sulit menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pengaruh pemakaian bahasa gaul terbawa ketika kita dalam proses perkuliahan. Dengan demikian, kita harus mulai menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar minimal dilingkungan kampus atau sedang mengikuti perkuliahan. Maka, kita akan terbiasa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.


[2] Jalaludin Rakhamat, Psikologi Komunikasi  (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994) , p. 39.
[4] http://www.scribd.com/doc/84632104/komunikasi-VERBAL-%E2%80%93-NON-VERBAL
[5] Loc, cit.
[7] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005), p. 22.
[8] Ponco Dewi, Modul Ilmu Komunikasi (Jakarta: FEUNJ, 2013), p. 136
[11] Ponco Dewi, op. cit., p. 144
[12] id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_gaul
[13] Ponco Dewi, op. cit., p. 147